Part 21

29 9 0
                                    

Sejak makan malam dimulai lima menit yang lalu, suasana ruang makan di rumah Rania masih terdengar senyap. Tidak ada yang membuka suaranya untuk memulai percakapan. Mereka masih sibuk dengan makanan yang dihidangkan di meja.

“Bagaimana kuliah Anda?” tanya Fardhan menengok ke arah Leon, langsung memecahkan keheningan.

“Baik, seperti biasa,” sahut Leon.

Kini Leon beralih menatap gadis di sampingnya yang tengah sibuk memisahkan sayuran ke pinggir piringnya. Entah dorongan dari mana, tangan Leon terulur untuk mengambil telur dan diberikan kepada Rania seraya membantu gadis itu memisahkan sayurnya.

“Apakah kamu tidak menyukai sayuran?” tanya Fardhan setelah melihat insiden itu.

Rania menoleh sekilas kemudian mengangguk membenarkan. Selama ini pelayan di rumah itu juga jarang memasak sayuran.

“Maaf ayah tidak perhatian kepadamu,” ujar Fardhan yang kini meletakkan sendoknya. Sebenarnya Fardhan sudah tahu itu dari dulu, tapi ia sengaja berbohong untuk mendekatkan putrinya dengan Leon. “Sepertinya Leon yang lebih memperhatikanmu. Dia juga tahu semua tentangmu.”

Uhuk ... uhuk

Rania menyambar segelas air putih yang kemudian diberikan pada Leon yang tiba-tiba terbatuk. “Minumlah!” titah Rania.

“Kalian pasangan yang sangat cocok,” ujar Fardhan sekali lagi, membuat Rania langsung menjauhkan tangannya dari punggung Leon.

Rania membulatkan matanya karena terkejut mendengar ucapan sang ayah. Ada apa dengan ayahnya ini, bukankah kemarin ia sudah berjanji untuk menjaga rahasia tentang perasaannya? Namun, mengapa sekarang ia sedikit-sedikit mengungkapkan semuanya.

Gadis itu melirik Leon yang duduk di sampingnya, memastikan apa reaksi laki-laki itu. Apa yang ia lihat sekarang, Leon tengah tersenyum manis menatapnya. Apakah ini pertanda lampu hijau darinya? Dia juga memiliki perasaan yang sama? Rania dibuat melayang oleh pikirannya sendiri, membuat gadis itu juga menarik kedua ujung bibirnya ke atas sangat bahagia.

“Ayah ini, kalau ngomong suka asal. Bisa saja Dokter Leon sudah memiliki kekasih,” tukas Rania.

“Hmm ... aku tidak punya,” sahut Leon tersenyum kikuk mengingat kebohongannya.

Mendengar jawaban Leon membuat Rania semakin bahagia. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum, dan terkadang mencuri-curi pandangan ke sampingnya.

“Saya sangat setuju jika kalian bisa bersama,” ucap Fardhan seraya menahan tawanya melihat pipi Rania yang mulai memerah. “Habiskan makanan kalian, saya akan pergi dulu.”

Fardhan berjalan meninggalkan dua sejoli yang masih sibuk dengan makanan mereka di ruang makan.

Kini, suasana ruangan itu kembali hening. Tidak ada yang memulai berbicara di antara Leon dan Rania, keduanya masih kalut dengan pikiran masing-masing.

“Ada yang ingin aku katakan,” ujar mereka bersamaan.

Leon berdehem dan mempersilahkan Rania untuk berkata terlebih dahulu. “Kamu duluan.”

“Dokter terlebih dahulu.”

Rania menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal. Rasanya sangat canggung hanya berdua dengan Leon setelah perkataan ayahnya beberapa waktu lalu.

“Baiklah, apakah dokter tidak keberatan dengan kata-kata ayah barusan? Maksudnya apakah dokter tersinggung?” lirih Rania merasa tidak nyaman.

Menanggapi itu, Leon tersenyum sembari berucap, “Tidak, aku akan menjadi laki-laki yang beruntung jika bisa mendapatkanmu.”

“Benarkah?” tanya Rania, alih-alih percaya dengan Leon, tapi gadis itu malah menganggap ucapan laki-laki di depannya hanya untuk menghiburnya saja.

Private Psychologist | SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now