Part 11

38 10 0
                                    

Beberapa saat lamanya, Leon dan Rania masih berada di sebuah mobil Ferrari milik Leon. Tidak ada yang berbicara, mereka masih saja diam dan kalut dengan pikiran masing-masing. Rania menoleh ke jendela melihat hujan yang masih belum reda.

“Bagaimana jika kamu cerita tentang gadis yang berada di tempat itu?” tanya Leon mencoba memecahkan suasana.

Rania masih terdiam pada posisinya, enggan menoleh seseorang di sampingnya.

“Dia Viana ‘kan?” tanya Leon sekali lagi seraya membenarkan posisi duduknya agar terasa nyaman menghadap Rania.

“Mengapa kamu tahu namanya?” ujar Rania mulai merespon ucapan Leon. Ia benar-benar tidak nyaman berada di posisi seperti ini.

“Kami pernah bertemu di suatu tempat,” jawab Leon.

Rania mengangguk.“Hmm ... dia pernah satu kelas denganku ketika kelas 11 dulu.”

Perlahan, sekelebat ingatan itu kembali merengsek. Gadis itu mulai mengingat masa lalunya lagi. Ketika ia dikucilkan dan tidak ada satu pun yang mau menjadi temannya, karena ketika ada seseorang yang menjadi temannya pasti akan ikut dirundung juga. Jadi mereka memilih untuk diam tanpa mendapat suatu masalah atau ikut merundungnya.

“Apakah kalian akrab?” Leon terus mengamati ekspresi Rania. Pasalnya, ia dapat mengerti perasaan gadis itu lewat ekspresi wajahnya. Jika itu mengganggu gadis di sampingnya, maka akan ia hentikan.

“Tidak, kami hanya saling kenal satu sama lain. Tapi Viana salah satu bagian dari anggota geng yang tidak menyukaiku,” ujar Rania tenang.
Laki-laki itu mengangguk mengerti maksud Rania, ia membayangkan beberapa gadis di fakultasnya yang bergaya modis, dan terkadang ada dari mereka yang merundung kepada temannya karena menurut mereka orang itu berbeda. Mungkin yang dimaksud Rania tidak jauh berbeda dari itu.

“Nanti kita akan coba bertemu dengannya. Kamu harus melawan rasa takut itu,” ujar Leon.

“Tidak,” sela Rania. Jujur saja, ia belum sepenuhnya bisa melawan rasa takut itu, dan ia membutuhkan sedikit waktu untuk terbiasa dengan lembaran barunya.

“Bukan sekarang, itu nanti ketika kamu siap,” tukas Leon.

Rania tahu, sekeras apa pun ia menolak dokternya itu tidak akan menyerah untuk membujuknya. Maka dari itu, bibirnya kembali terbuka untuk berucap, "Baiklah."

Rania melihat hujan yang mulai reda, walaupun masih terlihat ada sisa air hujan yang masih menetes, ia ingin segera keluar dari sana, karena rasanya risih berlama-lama berdua di dalam mobil bersama lawan jenis. Kemudian ia membuka pintu mobil itu dan keluar.

“Apakah Anda ingin masuk terlebih dahulu?” tanya Rania seraya menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.

“Tidak usah, lebih baik kamu cepat-cepat masuk. Nanti malah akan turun hujan lagi!” ujar Leon menunduk untuk menampakkan wajahnya.

“Oke.”

Kemudian gadis itu berjalan memasuki rumahnya dengan berlari kecil, meninggalkan seseorang yang berada di dalam mobil. Setelah sampai di depan pintu rumahnya, Rania membalikkan badannya seraya melambaikan tangannya. Ia sangat berterima kasih kepada dokternya yang sudah memberinya sedikit hal yang berbeda, menyenangkan, atau mungkin lebih tepatnya—membuat dirinya sedikit bahagia.

Leon mengamati gadis yang sedang melambaikan tangan kepadanya. Tersenyum dan ikut mengangkat tangannya, rasanya sangat senang melihat gadis itu tersenyum seperti itu. Ia melihat Rania yang sudah hilang di balik pintu.

Senyumnya memudar, ia teringat kepada gadis yang sudah lama tidak ia lihat senyumannya. Segera ia menepis pikirannya. Kemudian Leon menutup jendela dan mulai memarkirkan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Rania.

Private Psychologist | SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now