Part 6

48 11 1
                                    

Rania mengatur deru napasnya yang tidak teratur, kejadian pahit di masa lalu selalu muncul di dalam mimpinya. Kejadian traumatis Rania sering muncul kembali dalam ingatannya secara tiba-tiba, ia masih menyalahkan dirinya atas kematian ibunya. Jika saja. Jika saja dia tidak usah sekolah, jika saja dia tidak memiliki masalah dengan orang-orang itu, jika saja dia tidak mengenal orang-orang itu. Pasi ibunya masih berada di sini.

Rania bangkit ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Sampai di kamar mandi, ia membasuh wajahnya berulang kali agar ia kembali segar. Ia beranjak keluar dari sana, baru beberapa langkah, matanya menangkap seseorang tengah duduk di tepi tempat tidurnya, memegang benda kotak yang terdapat foto Rania dengan ibunya di sana.

“Ayah, sejak kapan ada di sini?”

Sadar putrinya memanggilnya, Fardhan berdiri mencoba menghampiri Rania dengan membawa nampan berisi roti yang sudah ditambah selai di dalamnya, dan susu putih untuk Rania.

Setiap hari, Fardhan selalu membawakan makanan untuk putrinya karena gadis itu tidak nyaman apabila ada orang asing masuk ke kamarnya, walaupun itu adalah seorang pelayan di rumahnya.

“Setelah selesai, pergilah ke ruang pengobatanmu, di sana Dokter Leon sudah menunggu,” ujar Fardhan.

“Aku ingin menenangkan diri dulu, Ayah.” Rania mengambil potongan roti dan memakannya.

“Akan lebih baik, jika kamu berkonsultasi langsung dengan dokter itu, mungkin dia bisa memberikan saran agar kamu lebih baik,” ucap Fardhan.

Setelah beberapa detik berpikir, Rania mengangguk dan setuju.

“Baiklah, tunggu lima menit, ayah bisa keluar dulu.”

Rania menghabiskan potongan terakhir rotinya. Berjalan ke arah lemari pakaian, memilih beberapa pakaian santai yang biasa ia gunakan sehari-hari. Hingga pilihannya jatuh pada celana jeans dan sweater abu-abu, ia mengambil ikat rambut yang ada di laci dan mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda. Setelah selesai dengan acara ganti bajunya, Rania pergi menemui Leon.

Rania mengetuk pintu sangat pelan, hampir tak terdengar, beberapa detik kemudian ia mendengar suara langkah kaki, lalu pintu terbuka.

Leon muncul di depannya dengan senyum di wajah. Tanpa melirik sedikit pun ke arah Leon, Rania masuk dan melangkah menuju samping kanan ruangan, di depan jendela. Senandung angin yang merambat masuk melalui jendela yang terbuka, mengenai wajah Rania. Membawa harap sendu. Gadis itu menatap langit yang sedikit mendung, tanpa sadar dengan seseorang yang sedang memandanginya di belakang sana.

“Bagaimana kabarmu?” Leon memecahkan lamunan Rania.

Gadis itu sebenarnya enggan menjawab pertanyaan Leon, tapi ia ingat dengan janjinya pada sang ayah, yaitu bersedia mengikuti pemeriksaan. Ia juga tahu ayahnya sudah lelah bergonta-ganti dokter lagi. Tak mau lebih menyusahkan ayahnya lagi, gadis itu pun mulai angkat bicara.

“Hmm ... seperti ini, setiap malam aku selalu bermimpi buruk, kenangan akan masa lalu selalu menghantuiku. Adakah cara agar aku bisa sedikit melupakan ketakutanku?” ucap Rania, ia berbalik menghadap laki-laki di belakangnya, matanya berkaca-kaca hampir menangis.

Leon duduk di samping Rania memberikan jarak beberapa meter. Awalnya, Rania merasa tidak nyaman bercerita kepada Leon. Tapi, seiring berjalannya waktu, mungkin ia akan mulai terbiasa dengan dokternya itu.

“Ada sesuatu hal yang kau sukai? Contohnya mendengarkan musik, menonton film, atau bernyanyi?” tanya Leon.

“Aku suka mendengarkan musik dan bernyanyi,” ujarnya mulai sedikit membuka diri. “Dulu aku juga pernah memainkan beberapa alat musik saat pentas sekolah.”

Private Psychologist | SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now