Part 7

44 10 0
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tiga pemuda turun dari mobil Ferrari putih yang terparkir di depan rumah yang lumayan besar. Mereka berjalan melewati pekarangan di rumah itu.

“Kalian bermalam di sini, ya?” ucap salah satu laki-laki itu.

“Oke, kamu mau kan, Yon? Lagian papa sama mamanya Ruka lagi dinas ke luar kota.  Kita bermalam di sini saja, besok juga weekend, kita ngga ada kelas,” timpal laki-laki di sebelahnya seraya merangkul orang yang diajaknya. Laki-laki yang dituju bahkan tidak melihat teman-teman di sampingnya, ia begitu serius mengotak-atikkan benda pipih di tangannya.

“Apa?” Leon baru menoleh setelah ponselnya diambil Revan.

Revan mengernyitkan keningnya. “BERMALAM DI SINI!” ucapnya dengan menekan kalimatnya.

Leon mengangguk menyetujui ajakan dua temannya. Dia tidak keberatan, lagipula tidak akan ada orang yang melarangnya mau pulang atau tidak karena dia hanya tinggal sendirian. Kemudian ia melangkah masuk ke dalam rumah itu. Tak lupa mengambil ponselnya kembali.

Setelah sampai di kamar. Leon menghempaskan tubuhnya ke kasur besar berwarna abu-abu milik sahabatnya. Setelah seharian melakukan kesibukannya, laki-laki itu merasa rindu dengan kenyamanan rebahan santuy-nya. Perlahan ia memejamkan matanya tanpa menggubris ucapan pemilik kamar yang menyuruhnya membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.

Bugh!

Ruka melempar bantalnya ke arah Leon tepat mengenai wajah laki-laki yang hampir pergi ke alam bawah sadarnya itu.

“Woy! Jangan jorok,” gerutunya, “setelah Revan, kamu duluan yang mandi, gih!”

“Hmm ... iya, iya.” Leon malas berdebat dengan Ruka. Percuma saja. Itu hanya akan membuang-buang waktunya.

“Tuh! Revan udah selesai.” Ruka menunjuk ke arah Revan yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang melilit di tubuh bagian bawahnya.

Leon masuk ke kamar mandi dan mulai mengguyur tubuhnya di bawah pancuran air dingin. Ia merasa sangat gerah dan tubuhnya sangat lengket, jadi tidak ada pemikiran untuk mandi air hangat menurutnya.

Leon mengusap wajahnya, mengingat apa yang ia lihat beberapa jam lalu di rumah Rania. Saat ia sedang berjalan menuruni tangga, ia tidak sengaja mendengar obrolan beberapa pelayan di rumah itu yang sedang bergosip.

“Sebenarnya Nona muda itu sudah gila, dia gadis yang dipungut Pak Fardhan karena beliau ditinggal putranya yang pergi bersama istrinya. Bahkan di  daerah sini tidak ada yang mengenalnya. Gadis itu di bawa ke sini oleh tuan secara diam-diam. Pelayan di sini pun tidak ada yang boleh membocorkannya,” ucap salah satu pelayan perempuan paling kiri.

“Dan ketika Nona muda keluar dari kamarnya, kita juga  tidak boleh terlihat olehnya,” sela pelayan dengan rambut ikal.

Kemudian ia melanjutkan ucapannya. “Pernah suatu ketika ada salah seorang yang tidak sengaja berjalan di depan Nona Rania, ia langsung mundur-mundur ketakutan dan bersembunyi di balik sofa. Setelah kejadian tersebut, pelayan itu langsung dipecat oleh Tuan Fardhan.”

Leon sama sekali tidak tahu tentang kehidupan Rania sebelumnya. Wajar saja jika perilaku Rania seperti itu. Dia gadis yang memiliki gangguan trauma berat. Tapi ucapan pelayan-pelayan di rumah itu membuat Leon bingung dan mereka sepertinya asal bicara. Apakah mungkin inilah alasan ia menjadi dokter private, karena orang-orang di sekitar sana menganggap Rania tidak pernah ada. Mungkin Fardhan melakukan itu agar tidak ada yang mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang Rania. Opini Leon.

Suara gedoran pintu yang sangat keras membuyarkan lamunan laki-laki itu. Kemudian ia dengan cepat membersihkan diri, dan keluar dengan keadaan yang lebih fresh.

“Lama amat! Kamu ngapain aja?” tukas Ruka mengerutkan keningnya penasaran apa yang dilakukan Leon selama di dalam.

“Ya mandi, lah.” Leon pergi seraya menyisir rambutnya dengan jari dan mengusap rambutnya dengan handuk kecil.

Setelah dirasa rambutnya sudah kering. Leon kembali merebahkan tubuhnya di samping Revan yang sudah terlelap dengan alat pendengar musik di telinganya. Tak lama kemudian, Leon pun ikut memejamkan matanya juga. Ia menggeserkan tubuhnya menyisihkan sedikit tempat untuk temannya yang sedang mandi.

--oOo--

Di pagi hari, Leon sudah berdiri di balkon rumah Ruka. Memandang langit biru seraya meminum teh hangat yang ia buat sendiri sebelum ke balkon.

“Leon, makan!” teriak seseorang di dalam.

“Ya!” sahut Leon mulai melangkahkan kakinya.

Di belahan bumi lain, seorang laki-laki paruh baya yang duduk di ruang makan sedang menikmati kopinya dengan koran di tangan kirinya, matanya bergerak searah koran yang dibacanya. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya yang merosot.

“Ayah panggil Rania ke sini?” tanya gadis yang menghampiri laki-laki itu dengan ragu-ragu. Ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan ayahnya memanggilnya.

Fardhan menghentikan acara minum kopinya, ia meletakan koran yang ia baca dan melepas kacamata yang ia gunakan. Mempersilahkan putrinya duduk menunggu sarapan siap. Ia mengubah peraturannya selama ini, bahwa pelayan di rumah itu tidak boleh keluar ketika ada Rania. Ia membaca pesan yang Leon kirim semalam dokter itu memerintahkan Fardhan untuk membiasakan Rania berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

“Iya, ayah ingin kau terbiasa tidak selalu di kamar mulai sekarang,” ujar Fardhan.

Rania memainkan jari telunjuknya di meja, matanya tidak lepas memandang ke bawah. Rasanya sangat canggung duduk di sana, di tambah para pelayan yang sangat asing bagi Rania bolak-balik menyajikan makanan mereka. Gadis itu bukannya terlalu berlebihan, tapi ia merasa para pelayan itu terus melihat ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jangan takut, kamu akan mulai terbiasa suatu saat nanti.” Fardhan mencoba menenangkan putrinya yang terlihat tidak nyaman.

Setelah selesai makan, Rania langsung pergi ke kamar, tempat ternyaman baginya dan meninggalkan ayahnya. Gadis itu menghela napas lega setelah sampai di kamarnya. Sejak ia duduk di ruang makan, ia merasa begitu tegang sampai susah untuk bernapas. Apakah ayahnya tidak menyadari itu? Ia pasti sudah menyadarinya dari awal. Tapi ayahnya itu ingin membiasakan Rania dengan hal-hal yang biasa dilakukan seorang gadis pada umumnya.

Rania melangkah membuka kotak bergambar apel yang sudah digigit. Kotak itu diberikan ayahnya tadi sebelum ia pergi. Ia membuka kotak itu yang berisi sebuah benda pipih segi empat. Rania menjadi gadis anti-sosial selama dua tahun, bukan berarti gadis itu tidak mengetahui benda apa itu. Itu ponsel, ia juga pernah punya benda seperti itu. Walaupun tidak secanggih ponsel yang diberikan ayahnya ini. Ia mulai membuka aplikasi pengunduh lagu, karena memang ponsel itu sudah sangat lengkap dengan kartu-kartunya.

To Be Continued

“Seseorang akan mulai terbiasa melakukan sesuatu jika sering melakukannya.”

--oOo--

Presented by Room Genre Romance,
yang diketuahi oleh uiulandd_

Judul: PRIVATE PSYCHOLOGIST
Penulis: alichyeon
Mentor: uiulandd_

FINAL PROJECT AWW GEN 1

Private Psychologist | SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now