Part 17

40 8 4
                                    

Pukul sembilan siang, Rania baru terbangun dari alam mimpinya. Gadis itu sulit tidur semalaman karena terus memikirkan Leon, hingga pukul empat pagi ia baru bisa memejamkan matanya. Apakah seperti ini jika seseorang sedang jatuh cinta?

Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ikat rambut dari atas nakas, kemudian mengikat rambutnya asal, dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, Rania keluar dari kamar mandinya dengan keadaan yang lebih fresh. Gadis itu berjalan keluar kamar, dan menuruni anak tangga untuk sampai di ruang makan. Ia sekarang sudah sedikit terbiasa dengan orang-orang di rumahnya. Walaupun kadang Rania sering terkejut ketika tiba-tiba bertemu dengan pelayannya.

“Baru bangun?” sapa Fardhan yang sudah penuh dengan keringat, sepertinya pria paruh baya itu baru kembali setelah joging pagi yang rutin dilakukannya.

“Iya, Ayah. Rania telat bangun,” ujar Rania.

“Ya sudah, biar nanti Bi Riri menghangatkan sarapanmu yang sudah dingin,” tukas Fardhan. Kini ia memanggil seorang pelayan yang bernama Riri untuk melakukan perintahnya.

Mereka berdua duduk berhadapan di ruang makan sambil menunggu makanan siap. Fardhan sedari tadi melihat ke arah Rania, lebih tepatnya ke arah mata gadis itu. Terlihat sedikit bengkak, sepertinya Rania tidak tidur semalam.

“Kamu tadi malam tidur jam berapa? Matamu bengkak, sepertinya kamu begadang?” tanya Fardhan.

“Eum ... ngga tahu, Ayah. Rania langsung tidur begitu saja,” jawab Rania, sebisa mungkin menutupi suatu kebenaran bahwa ia memang tidak tidur semalam.

Belum puas dengan jawaban putrinya, Fardhan kembali bertanya. “Bagaimana semalam? Kamu senang dengan tempat itu?”

Rania mengangguk dengan senyumannya yang sudah mengembang. Tangan gadis itu terulur untuk mengambil air putih di depannya.

“Rania baru tahu ada tempat seperti itu di sekitar sini,” tukas Rania.

Fardhan yang melihat ekspresi Rania yang terlihat senang ikut bahagia. Kemudian pria paruh baya itu bangkit dari kursinya untuk pergi membersihkan diri. Sebelum itu, Fardhan mendekati Rania, mengelus surai cokelat milik putrinya. Menunjukkan bahwa ia sangat menyayangi putrinya.

“Ayah senang melihatmu bahagia,” ujar Fardhan.

Rania masih duduk manis di ruang makan. Melihat kiri kanannya dengan bergumam menyanyikan sebuah lagu, tidak ada yang mengamatinya.karena semua pelayan di rumah itu masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Gadis itu membuka ponselnya yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.

Rania membuka aplikasi chatting miliknya. Memastikan apakah ada pesan yang masuk. Di layar ponselnya, hanya ada dua nama yang tertera di sana, satu ayahnya, dan yang satunya Leon. Gadis itu tidak menyimpan nomor orang lain selain Leon di aplikasi LINE-nya. Padahal waktu itu kedua teman Leon memintanya untuk menyimpan nomor mereka, tapi ia tolak.

Dokter Leon : Hari ini aku ingin mengajakmu bertemu dengan Viana.

Dokter Leon : Tadi malam kamu setuju untuk ke tahap berikutnya.

Dokter Leon : Tenang saja, kejadian beberapa waktu lalu tidak akan terulang lagi. Kali ini, aku tidak akan teledor.

Begitulah isi pesan yang Leon kirim. Sekarang, hanya mendapat notif chat dari Leon saja itu berhasil membuat Rania tersenyum manis. Dia bahkan melupakan rasa khawatir tentang hal-hal yang bisa saja terjadi nantinya ketika bertemu dengan seseorang yang ia takuti.

Rania mengetikkan beberapa kata untuk menyetujui ajakan Leon. Setelah pesannya terkirim, Rania baru mulai menyantap sarapan yang sudah tertata rapi di depannya. Pelayan itu datang ketika Rania sibuk membaca pesan dari Leon.

Private Psychologist | SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang