꒰ 2 ꒱

47 7 21
                                    

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻
Your Text - Sundial

ʚ ɞ

Setengah syok, tatapanku beralih. Kini gadis itu–Kanya, yang duduk persis di hadapanku–tengah mengangkat bokongnya, posisinya setengah berdiri, badannya condong ke arahku, membuat wajahnya hanya berjarak kira-kira sepuluh senti dari wajahku, tangannya hendak menyambar lumpia telur yang tergeletak di atas meja dan sama sekali belum kusentuh–bahkan sesaat aku lupa kalau aku barusan beli lumpia telur.

Alih-alih mencegah tangan Kanya, aku malah menghindari wajahnya yang terlalu dekat dengan wajahku, serta memasang ekspresi seperti tertangkap basah. Tanpa basa-basi lagi gadis itu mencuil makananku. Dan kini beberapa pasang mata persis mengarah padaku, tatapan penuh kebingungan—sama bingungnya denganku saat ini, curiga, dan tak lupa senyuman ganjil.

"Ekhem," deham Oliv dengan sengaja, ekspresinya penuh curiga, seringai tak luput dari bibirnya. Tindakan itu memicu empat orang lainnya untuk ikut memasang seringai.

"A- apa?" Ah, aku gagap.

"Di situ ada siapa?" Mata Kayla mengerling ke kanan, bibirnya ikut manyun, lalu mengarah ke meja yang ia maksud.

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain kaku di tempat, mengedarkan pandangan ke wajah-wajah temanku dengan rasa gugup dan prasangka-prasangka yang mulai membuncah. Aku sampai tak sadar telah meremas rok abu-abuku.

Seseorang, tolong aku.

"Santai aja, An," ujar Rizella–ini pertama kalinya di minggu ini ia makan semeja dengan kami, biasanya dia berduaan dengan cowoknya tiap istirahat.

Aku berusaha bersikap senormal mungkin, tapi aku malah menggeleng keras sambil senyum-senyum aneh. Bagaimana cara mengendalikan salah tingkah astaga?!

Teman-temanku menelaah ekspresiku, lalu Kanya berseru dramatis, "Oh my God! An, beneran? Anak futsal?" Mulutnya terbuka lebar-lebar saat berkata demikian, sampai tak sadar telah mengundang atensi dari beberapa anak perempuan di meja sebelah.

Kayla meletakkan telunjuk pada bibirnya, Oliv bolak-balik mengerling antara meja sebelah dan wajah Kanya. Rizella cukup menyerang teman sebangkunya itu dengan tatapan mautnya. Sementara aku hanya bisa terpojok di sini, tak bisa menyembunyikan kecemasanku.

Aku menyapu pemandangan sekitar. Seruan-seruan anak yang kelaparan, mendesak pedagang kantin untuk mendulukan pesanan mereka, serta tiap-tiap meja yang memulai percakapan dengan topik masing-masing. Syukurlah riuhnya kantin mampu menyembunyikan seruan Kanya hingga tak kedengaran terlalu mencolok.

Lelah dipojokkan, aku buka suara, "Ummm ... aku cuma kebetulan lagi liat ke sana," ujarku mencoba menghilangkan prasangka teman-temanku, aku terpaksa berbohong, oke.

"Kebetulan, sepuluh menit doang, ya?" sarkas Rizella memanas-manasi.

"Cepat kasih tahu! Nanti dibantu PDKT-nya!" paksa Kanya menggebu-gebu. Aku menggeleng enggan.

"Anais bisa punya doi?" Kayla semringah, mukanya keheranan menghadapku.

"Pipimu merah, tuh." Telunjuk Oliv mengarah persis ke wajahku.

Aku refleks menyentuh kedua pipiku, lalu berucap kesal, "Diam, aku malas, ah!"

"Oke, nanti kalo inisialnya bener bilang 'iya', ya!" kata Kayla.

"A?"

Aku mengangguk keras, dengan bodohnya. Matilah aku detik itu juga. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku meneguk liur, tubuhku panas dingin, kurasa wajahku yang semula putih sudah menjadi serupa dengan kepiting rebus.

Mereka semua lantang bersorak cie-cie, sukses mengundang puluhan pasang mata, bahkan salah satu guru urung melahap makanan yang telah bertengger di sendoknya, gurat wajah guru itu menyiratkan kata "Diam atau kucoret nilaimu!". Yang lain terlihat ... terganggu sekaligus kebingungan. Bahkan, cowok-cowok itu ikut menatap ke arah kami.

Wajahku rasanya panas, mataku berkaca-kaca saking malunya, tanganku meremas bahkan merobek tisu yang sejak tadi kupegang. Kemudian aku meletakkan kepalaku di atas meja demi menyembunyikan wajah.

Sadar telah memancing perhatian, teman-temanku saling ber-shhtt pada satu sama lain. Lantas saling menyalahkan, mengira aku menangis. Aku tidak menangis! Tidak lagi!

"An, kamu nangis?" tanya Kayla, tangannya ia letakkan di punggungku.

"E- enggak," ucapku dengan suara yang tak jelas karena teredam meja.

Aku mulai mengangkat kepala, tak lagi menyembunyikan pipi yang masih merona.

"Kanya,"–gadis itu menoleh, mengangkat alis–"mau lumpia?" tawarku.

"Kamu udah nggak mau?" Terkandung nada berharap dalam pertanyaannya itu.

"Kayaknya aku beli roti aja." Jawaban itu yang ia harapkan.

"Okur." Ia menyatukan telunjuk dan jempolnya, membentuk gestur oke.

Tak sampai semenit lumpia telur itu telah ia tandaskan, lalu kami memungut sampah masing-masing, bersiap untuk beranjak.

"Anais, mau ke koperasi 'kan?" tanya Rizella. Aku mengangguk.

Rupanya pergi ke koperasi adalah sebuah kesalahan. Bila ingin berjalan dari kantin ke koperasi, maka kami harus melewati para laki-laki itu. Begitu sampai di depannya, aku melipir ke pojok, ke samping Oliv.

"Neng, dicariin–" Aku kenal suara itu, Adit, salah satu anak futsal, ucapannya terhenti, kedengaran seperti mulutnya disumpal seseorang.

"Dit, gue jambak, nih!"

Jantungku mencelus, mataku melebar, aku meneguk ludah. Aku ... juga kenal suara itu, amat mengenalinya. Ingatanku terlempar kala alunan lagu Comethru diiringi petikan gitar menyambangi rungu. Mendadak, aku berharap Adit melanjutkan kalimatnya.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Minggu, 1 Agustus 2021

Admiring You || ENDМесто, где живут истории. Откройте их для себя