꒰ 13 ꒱

7 2 0
                                    

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Comethru - Jeremy Zucker

ʚ ɞ

Perjalanan pulang kemarin Sabtu masih sedikit canggung untuk kami berdua. Andai saja prasangka-prasangka memuakkan itu tak menyeruak dalam benakku, mungkin aku bisa lebih menikmati momen.

Aku bingung. Kenapa pula aku harus cemburu pada Virgitta? Bahkan Rizella atau Kanya? Mereka jelas-jelas lebih dekat dan sudah kenal dari lama. Itu tidak aneh.

Kenapa pula aku harus cemburu pada orang yang lebih bisa mengajak gebetanku mengobrol daripada aku?

Cowok itu tengah duduk di sebuah kursi di depan kelasnya yang hanya berjarak dua kelas dariku. Sayup-sayup terdengar suara petikan gitarnya meski suara-suara ribut dari kelasku lebih jelas terdengar. Aku juga mendengar nada-nada yang keluar dari bibirnya. Aku tak tahu judul lagunya, tapi yang jelas aku menikmati nyanyiannya. Tipikal suara lembut—husky kalau kata Rizella—yang mampu meluluhkan setiap hati wanita.

Bukan pemandangan yang benar-benar indah bagi suasana hatiku saat ini. Teman-teman ceweknya ada di kanan, kiri, dan depannya. Ada yang ikut bernyanyi, ada yang hanya tepuk-tepuk, ada yang request lagu, dan ada pula yang seperti berniat menjahilinya. Seandainya aku bisa bernyanyi, mungkin bernyanyi bersama diiringi petikan gitarnya sudah ada di daftar hal-hal yang ingin kulakukan bersamanya. Namun, suaraku yang cempreng jauh dari kata bagus, jadi aku hanya bisa menjadi penikmat suaranya.

Selesai sudah penampilan pertamanya, kini teman-temannya bertepuk tangan, dan aku menahan diriku untuk tidak ikut bertepuk tangan.

"Comethru! Comethru!" pinta salah satu temannya. Itu adalah lagu yang paling sering ia nyanyikan dengan gitarnya.

Senyum miring diulasnya, dan kini petikan gitar mulai mengalun. Lirik demi lirik lagu mulai ia nyanyikan. Seandainya aku bisa teriak kegirangan, maka teriaklah aku.

Pertama kali aku mendengarnya menyanyikan lagu itu adalah saat aku lewat di depan kelasnya, lalu runguku menangkap sebuah nyanyian merdu dari dalam kelasnya. Seorang lelaki tengah duduk di pojokan kelas, memainkan gitar sambil bernyanyi syahdu. Wajah rupawan itu sudah sering kulihat, tapi mengetahui fakta bahwa ia memiliki sebuah talenta yang lain adalah penyebab kekagumanku. Seingatku itu adalah pertama kalinya aku jatuh cinta padanya.

Mulai dari saat itu hari-hariku dipenuhi perasaan gugup dan berbunga-bunga berlebih di saat yang bersamaan. Mulai saat itu ia menjadi orang paling sempurna di mataku. Aku tak bisa melihat kekurangannya dari sisi mana pun. Bagiku ia tanpa celah.

Hariku diisi momen-momen indah sebelum kejadian Sabtu kemarin. Aku tak pernah tahu bahwa aku se-pencemburu itu. Aku tak pernah tahu bahwa prasangkaku akan dirinya bisa berubah secepat itu. Aku tak pernah tahu ... bahwa aku telah menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapnya sehingga membuatku lupa bahwa ia manusia yang tidak sempurna.

'Kesempurnaannya' tak bisa sepenuhnya kumiliki sesuai kehendakku, dan disitulah celah baru yang kutemukan. Dia memang sopan, itu tata krama yang diajarkan orang tuanya. Dia memang suka membantu, itu kewajiban seorang manusia pada manusia lain. Dia memang ramah, itu caranya bersikap baik pada orang di sekitarnya.

Keramahtamahannya, kesopanannya, dan kepeduliannya terhadap diriku hanyalah secuil dari kebaikan hatinya yang ia bagikan kepadaku, aku bukan satu-satunya orang yang diperlakukan dengan baik olehnya.

Dia baik, pantaslah ia mempunyai banyak teman. Laki-laki, perempuan, semua nyaman berada di dekatnya. Dan baik laki-laki maupun perempuan pantas mendapat perhatian darinya. Maka perhatian yang ia berikan pada orang lain bukan berarti ia memiliki perasaan spesial pada orang itu. Tidak pada Virgitta, tidak pada Rizella, tidak pada Kanya, dan juga ... tidak padaku.

Saat ini di depan kelasnya mulai sepi. Aku mendengar bahwa guru yang tak masuk ke kelasnya menitipkan sebuah tugas, makanya semua cewek-cewek yang tadi ada di depan, termasuk Abinaya juga, masuk ke dalam, ada juga sebagian kecil yang memilih mengerjakan tugas di luar sambil tidur-tiduran.

Setidaknya situasi itu lebih baik daripada kelasku. Guru mata pelajaran pertama menitipkan catatan, aku sudah menulis satu halaman dan kemudian memilih untuk memfoto buku yang dititipkan guru itu agar bisa melanjutkan catatan di rumah, kini guru mata pelajaran kedua benar-benar tak masuk dan tak menitipkan tugas atau catatan, tak ada sedikit pun niat untuk melanjutkan catatan dalam diriku.

Malah, aku lebih memilih merenung menatap kelas orang di depan sini. Menyedihkan.

"Ah, lu mah pada jahat sama gue, nggak ada yang mau nemenin!" seru seseorang dengan suara lantang. Orang itu kedengarannya berada di dekat ambang pintu, tak jauh dari tempatku.

Sepertinya orang itu yang kini menepuk bahuku. Aku sontak menoleh.

"Eh, Kanya ...."

"Oh, bener," ujarnya, "kok lu tumben sih kayak murung gitu? Galau ya? Eh, cerita dong," cecarnya dengan nada khawatir.

Aku membulatkan mata dan menggeleng. "Engg—"

"Eh, nanti aja deh, Nya." Mungkin ini saat yang tepat bagiku untuk bilang pada teman-temanku tentang kebenarannya.

"Takut sumpah gue ngeliat lu kayak gitu, aneh banget," katanya dengan agak hiperbolis, "ya udah, temenin gue ke kantin dulu, yuk!"

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Hey! Aku mulai menemukan cara buat menamatkan ceritanya meskipun nggak yakin-yakin amat bakal beneran tamat :D

Tiba-tiba udah tanggal 21 yah, nggak kerasa.

Mohon maaf kalau ke depannya bakalan banyak yang dicepetin karena ... mengejar target.

Sabtu, 21 Agustus 2021

Admiring You || ENDWhere stories live. Discover now