꒰ 6 ꒱

11 2 0
                                    

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

sweet boi - chevy

ʚ ɞ

Aku memilin temali tas yang kini ada di pangkuanku, gelisah. Sudah sejak tadi aku duduk terdiam di kursi panjang ini sembari menatap layar telepon dan berharap-harap cemas. Beragam manusia dari segala usia, gender, dan kepentingan berlalu-lalang pada trotoar tepat di belakangku. Pun di depanku kendaraan asyik melintas, sesekali padat karena lampu lalu lintas sedang merah, sesekali pula terdengar suara klakson yang saling sahut.

Padahal ini sudah lewat sepuluh menit, kupikir setidaknya beberapa temanku sudah datang. Saat ini, grup kami dibanjiri oleh pesan seperti, "Izin ngaret," beserta alasan mereka. Aku berkali-kali keluar-masuk antara grup dan ruang chat personal. Aku bahkan tak segan men-spam teman-temanku agar mereka cepat datang, aku juga menelepon mereka ganti-gantian. Beberapa dari mereka menjawab, hanya untuk memprotes karena aku berisik.

Habis aku bosan sendirian begini, juga tak enak karena telah hampir setengah jam duduk di atas kursi ini—barangkali ada yang sejak tadi ingin duduk dan menungguku pergi.

Aku menengok kanan dan kiri, siapa tahu ada yang datang. Pemandangan masih sama, kafe-kafe, restoran-restoran makanan dan minuman kekinian, supermarket, gapura penghubung antara kawasan perumahan dengan dunia luar, orang-orang tak dikenal lewat dengan silih berganti, serta kendaraan-kendaraan yang melaju membelah jalanan. Benar-benar tak ada yang berubah, juga menarik perhatian. Aku hanya ingin siapa pun cepat datang, menyelamatkanku dari kejenuhan yang teramat.

Omong-omong, hari ini kami—anak-anak cheers dan futsal—menyusun rencana sendiri dalam rangka merayakan keberhasilan kami dalam kompetisi kemarin—tanpa pelatih. Indira, sang bendahara, menolak menggunakan uang kas untuk hal seperti ini. Tentu saja, kami masih mengumpulkan uang untuk membeli kostum baru, Indira tak akan membiarkan uang yang masih setengah tekumpul itu terpakai, nanti bisa-bisa dia kena murka pelatih karena ulah yang semena-mena itu.

Tiba-tiba telingaku menangkap suara dering disertai getaran kecil yang kurasakan di telapak tanganku. Aku otomatis terperanjat, tak bisa dipungkiri ada rasa antusias yang tumbuh dalam lubuk hatiku, berharap seseorang datang untuk menyelamatkanku dari kesepian.

Ah, Jessica!

"Halo ...," sapaku memulai obrolan, dengan nada yang diayunkan pada ujungnya.

"Na, udah ada yang dateng?"  Terdengar suara dari seberang sana. Dari apa yang dapat kutangkap, tampaknya dia sedang ada di dalam kendaraan atau semacamnya.

Kontan, kutolehkan kepalaku ke segala arah. Lalu sudut mataku mendapati pemandangan yang amat familier, lantas visiku melesat, melihat apa sesungguhnya yang menarik perhatianku.

Deg.

Jantungku seperti ditempa saat mataku berserobok dengan kedua matanya. Lelaki itu ... juga tengah menelepon seseorang. Sosoknya yang mengenakan sweatshirt abu-abu muda dan celana jin tengah berdiri, bersandar pada dinding luar kedai minuman tempat kami semua berjanji untuk hadir, hanya berjarak beberapa meter dari tempatku. Bisa jadi, dirinya tak sadar akan kejadian tadi. Atau mungkin ... pandangannya memang tak mengarah padaku. Yah, palingan hanya kebetulan. Aku tak mengacuhkan Jessica yang terus mengoceh lewat sambungan telepon, aku pun tak mengerti apa yang dia bicarakan.

"Oy, kok diem!" Aku segera mengalihkan perhatian, kembali menolehkan kepala pada jalanan.

Aku menurunkan kepala, mendekatkan speaker ponsel ke mulutku, meletakkan tangan di bawahnya demi memperjelas suara, lalu berdesis, "Um, Jess, kamu nanya apa tadi?"

"E- eh, cepetan dateng, pokoknya cepet, ya!" seruku masih dengan suara pelan--membuatku terdengar seperti tikus mencicit.

"Sabar, gue lagi di jalan," balasnya malas.

"Na, lo yang pake baju kuning 'kan?"

Entah apa yang ada di pikiranku, aku refleks menunduk, mengecek apa pakaian yang kukenakan. Ah iya, kaus garis-garis kuning-putih dengan rok jin selutut. Aku lantas mengangguk, lalu bersuara, "Iya, kamu udah dekat?"

"Sebentar, gue di mobil hitam, nanti, gue bilang bokap dulu," ujarnya. Aku dapat mendengar sayup-sayup suara Jessica yang tengah berbicara kepada ayahnya.

Tak lama setelah itu, sebuah mobil hitam bergerak ke pinggir, lalu berhenti melaju tepat di depanku. Seseorang membuka pintu, menampakkan gadis berperawakan tinggi semampai dan rambut hitam yang di-highlight warna emas. Ia turun, kemudian melambaikan tangan kepada ayahnya yang duduk di kursi kemudi.

"Eh iya! Itu, Clarissa bilang baru bangun—mentang-mentang rumahnya tinggal jalan kaki seenak jidatnya dia telat!" Baru menginjak aspal, mulutnya sudah melayangkan cercaan, sedang aku diam menatapnya, masih duduk di atas kursi.

"Kalau begitu aku telepon dia ya," usulku, jempolku bergerak, membuka kunci ponsel. Akan tetapi, tangannya menghentikanku.

"Nggak usah, barusan gue udah nelepon dia berkali-kali, katanya, dia lagi mandi sekarang," ujarnya.

Tiba-tiba Jessica berdecak. "Kebiasaan, janjian jam sepuluh, jam sepuluh pula baru bangun," keluh sang kandidat ketua baru untuk angkatan kami.

"Kakak kelas juga— Ah, biasanya mereka datang siang, kenapa harus heran?"

Kami tak akan pesta hura-hura dengan kakak kelas kami yang sudah kelas dua belas itu, tapi yang Jessica maksud—aku tahu karena ia seringkali membicarakan hal ini—adalah kebiasaan ngaret kami menurun dari kakak kelas kami. Dulu, kami rajin sekali latihan. Diminta datang jam 10, jam sembilan sudah ada yang di sekolah. Malah, kakak-kakak kelas kami yang sering membuat pelatih kesal karena membuat latihan tertunda.

"Ini kita mau nunggu di sini terus?" tanyaku.

Belum sempat gadis itu menjawab, aku sudah melontarkan pertanyaan lain. "Nggak masuk aja dulu, gitu? Sambil nunggu ...."

"Oh, lo mau masuk?" Telunjuknya diarahkan kepadaku.

Aku mengangguk. "Laper ...," rengekku sembari memegang perut.

"Gue juga belum sarapan, ya udah, yuk, masuk aja!" ajaknya.

Namun, langkah Jessica terhenti tak berapa lama kemudian. Matanya mengarah pada satu titik.

Ia menepuk bahuku. "Eh, dia anak futsal 'kan, ya?" Tangannya menunjuk ke orang yang berdiri di depan dinding kafe, yang mengenakan sweatshirt abu-abu, dan celana jin.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Aku sebenernya lumayan optimis buat namatin ini saat ini, tapi kayaknya chapter-nya bakalan lebih banyak dari perkiraanku. Chapter 6 masih gini-gini aja .-. //tidak sabaran.

Selasa, 3 Agustus 2021

Admiring You || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang