[36] Aku dan Dia

41.6K 3.1K 240
                                    

Rasanya seperti ada beban berat dan panas yang menimpa dadaku.

Aku terkesiap dan mengambil napas sebanyak yang aku bisa. Ini pertama kalinya aku merasa sesak hebat seperti itu. Setelah tiga puluh detik mengatur napas, akhirnya seluruh tubuhku bisa kembali tenang. Dan pada saat itulah aku menyadari kalau tempat ini bukan ambulans sempit dengan berbagai perlengkapan pertolongan pertama.

Ini adalah perpustakaan, tepatnya ruang belajar perpustakaan pusat di kampusku. Ruangan besar ini terdiri dari puluhan meja bersekat berwarna cokelat yang dilengkapi lampu kecil dan stopkontak di atasnya. Karena sudah mendekati minggu Ujian Tengah Semester, ruang belajar pun dipenuhi mahasiswa. Suasana yang hening dan nyaman, lengkap dengan kursi empuk, AC sejuk, dan sinyal wifi kuat, ruang belajar perpustakaan pusat selalu menjadi pilihan.

Tunggu.

Aku mengerutkan dahi, menyadari keberadaanku di tempat ini. Kenapa aku bisa tahu kalau sekarang sudah memasuki minggu UTS?

Sebuah laptop tergeletak di meja, di depanku. Aku mengenal betul kalau itu adalah laptop pribadiku. Layarnya yang menyala itu menampilkan presentasi Mbak Eva tentang prosa zaman kemerdekaan—salah satu materi yang keluar untuk UTS. Mataku pun beralih pada ponsel yang kugenggam. Tampilan platform novel online yang terpampang di layar itu sangat familier. Tanpa sadar, jariku mulai bergerak, entah mencari apa di sana.

Lalu, semua berputar seperti potongan film di kepalaku.

Rasa frustasi menentukan topik skripsi.

Kata-kata Mbak Eva yang telat masuk kelas pagi ini.

Ajakan Tania untuk makan gado-gado di kantin sebelum datang ke perpustakaan.

Bahkan omelan Bunda minggu lalu karena aku telat menyuntik vaksin Toki—kelinci peliharaanku.

Aku ... kembali?

"Eh? Lo baca novel itu juga?"

Aku menoleh dan mendapati Tania duduk di meja sebelah. Ia melirik penasaran layar ponselku, yang membuatku akhirnya membaca kembali kata-kata yang ada di sana. Ibu jariku tiba-tiba terasa kaku, tidak bisa digerakan. Mataku pun membulat, seiring dengan debaran jantung kuat sampai dada ini terasa sesak.

[... bunyi alat-alat dingin di ruang rawat ini memberi harapan juga rasa takut. Hidup Laura hanya tinggal bergantung padanya ....]

Dengan jari bergetar, aku pun menggulung halaman ke bagian atas, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

[... Dylan tidak peduli apa yang terjadi pada tubuhnya. Asalkan bisa terus menemani Laura di sini, ia merasa baik-baik saja. Dylan ingin menjadi orang pertama yang Laura lihat ketika membuka mata. Meski atmosfer ruangan ini seakan meremas dadanya, Dylan tidak mau berhenti berharap.

Ia berharap Laura masih memberikan kesempatan untuk menebus kesalahan karena tidak bisa menjaganya.]

"Gue nggak mau baca lagi pokoknya!" ucap Tania. "Padahal udah mau ending, tapi jalan ceritanya malah kayak gitu!"

"Dylan ...."

Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan ocehan Tania. Mulutku refleks menyebut namanya begitu muncul di layar ponsel. Cowok yang kuat itu ... kenapa terlihat sangat menyedihkan di sini?

"Nah! Kasian banget, 'kan si Dylan." Tania mendesah. "Padahal dia sama Laura uwu banget, aah!"

"K-Kenapa ...." jariku belum berhenti bergerak. Kalimat demi kalimat yang kubaca semakin menyayat hati. "Kenapa peran antagonis selalu berakhir menyedihkan ...?."

VillainWhere stories live. Discover now