[Special Extra] Q Time

32.3K 2.6K 139
                                    

*Warning!

Udah warning aja dulu deh hehe

Enjoy~

-----------------------------

"Papa lagi dinas ke luar. Kamu mau nggak temenin aku di rumah?"

Tangan Dylan yang sedang memegang drawing pen pun terhenti di udara. Inspirasi yang tadi mengalir lancar di kepalanya kini menghilang bagai debu tertiup angin. Mungkin Dylan hanya salah dengar. Meski begitu, tidak ada satu pun jawaban yang bisa Dylan utarakan.

Setelah lamaran—yang gagal—itu, hubungan mereka tetap baik-baik saja. Mereka masih suka menghabiskan waktu bersama dan sempat juga double date dengan Mou dan Alvin kemarin. Tidak pernah Dylan duga mendapat undangan seperti itu dari Laura. Dylan selalu suka mendengar suara Laura, jadi ia selalu mengangkat panggilan Laura meski di tengah kesibukan sekalipun. Namun kali ini, Dylan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah ia harus senang atau menyesali perbuatannya?

"R-Rumah?" bingung mau menjawab apa, Dylan hanya bisa mengulang ucapan Laura.

"Hm. Kenapa? Kamu nggak bisa, ya?"

Mendengar nada kecewa Laura, Dylan buru-buru menjawab. "Ng-nggak begitu ... tapi ...." Dylan mengambil jeda untuk menelan air liurnya sendiri. "Ini udah malam, Hon."

"It's okay kalau kamu nggak bisa." Laura mengembuskan napas di seberang sana.

Dylan memejamkan mata sambil menarik napas panjang. "Okay. Aku ke sana."

"Seriously?"

"Hm."

"Yey, thank you! Aku tunggu, ya. Love you."

"Love you."

Panggilan terputus, tapi Dylan masih memandangi layar ponselnya dengan hati bergetar. Ini bukan sekadar "berkunjung" ke rumah Laura. Kalau biasanya Dylan khawatir karena harus berhadapan dengan papanya Laura, sekarang justru ia ketakutan menghadapi Laura sendiri. Jari-jari Dylan tidak berhenti mengetuk meja sedaritadi. Begitu juga kakinya yang bergerak gelisah di bawah meja.

"Relax, Dyl, relax ... Laura cuma ngudang lo ke rumahnya." Dylan mendesah panjang sambil mengusap wajahnya. "Berdua doang ...."

Sepuluh menit Dylan habiskan untuk menentukan sikap, sampai akhirnya ia bangun dari kursi meja belajar dan berganti pakaian. Padahal Dylan sengaja tidak membawa baju ganti ketika memutuskan untuk menginap di rumah papa hari ini. Dan sekarang ia menyesali keputusannya itu. Di lemari lamanya memang masih banyak pakaian yang tersimpan, tapi Dylan tidak menemukan apapun yang cocok. Ini jauh lebih memusingkan daripada saat kencan pertama mereka dulu.

Akhirnya pilihan Dylan jatuh pada kemeja biru dongker dengan bordiran kecil di dada. Berkali-kali Dylan mematut dirinya di depan cermin sambil mengatur napas. Lalu, tiba-tiba ia merasa konyol sendiri. Buru-buru Dylan memakai sepatu, mengambil dompet dan kunci mobil, lalu keluar dari kamar.

"Mau ke mana, Dyl?"

Suara papa menyapa ketika Dylan melewati ruang tengah. Laki-laki paruh baya itu sedang mengerjakan pekerjaan kantor sambil ditemani secangkir teh. Dylan bersyukur papanya menjadi lebih baik meski keluarga mereka tidak lagi utuh. Di awal-awal perceraian, Dylan mendengar kabar kalau papa mencoba untuk merusak diri. Ia tidak masuk kantor, mabuk sendirian di rumah, bahkan sampai menghancurkan barang. Entah kapan tepatnya papa menemukan titik balik kehidupannya dan menjadi pribadi yang lebih baik—bahkan daripada ketika mereka masih bersama.

VillainWhere stories live. Discover now