[25] Di Antara Kebencian

24.1K 3.1K 129
                                    


"Bapak udah tunggu Mas di mobil," lanjut Pak Doni, seolah paham dengan tatapan bingung Dylan.

"Kenapa—" mulut Dylan langsung mengatup seiring dengan dadanya yang berdebar keras.

Otak cerdas Dylan memproses semua ini dengan cepat. Papa tidak pernah secara khusus mengantar-jemput Dylan. Terlebih setelah Dylan masuk SMA dan memutuskan untuk membawa kendaraan sendiri, ia semakin tidak peduli kapan Dylan berangkat dan pulang sekolah. Ketika Dylan tidak lagi membawa motor ke sekolah pun ia tidak mau tahu. Jadi sudah pasti hari ini ada kejutan besar yang menanti Dylan di sana.

Dylan melihat Pak Doni menelan air liurnya sendiri. Matanya pun bergetar menatap Dylan, sebelum ia memberi gerakan tangan untuk Dylan segera mengikutinya masuk ke dalam mobil yang terparkir di parkiran sekolah.

"Lebih baik Mas temuin Bapak dulu."

***

Tubuh Dylan langsung ditampar hawa dingin begitu memasuki mobil mewah papa. Bukan karena suhu AC dinyalakan terlalu rendah, tapi karena aura dingin papa yang memojokkannya. Dylan duduk tanpa banyak bicara. Ia akan mendengarkan apa yang ingin papa sampaikan terlebih dulu.

"Papa udah tahu tentang rencana studi kamu." Seperti biasa, papa tidak pernah berbasa-basi saat bicara dengan Dylan. "Sekarang jelasin!"

"Itu baru rencana, Pa. Dylan juga masih cari apa yang sebenarnya Dylan mau."

Papa menoleh. Ia mengerutkan dahi, pertanda kalau tingkat emosinya mulai naik. "Cari? Bukannya Papa udah bilang, kamu harus kuliah di Australia, ambil jurusan bisnis, dan kembali untuk memimpin Pramulia!"

"Dylan nggak benar-benar mau ...." Dylan menarik napas, mencoba untuk mencari kekuatan. "Dylan nggak mau nerusin perusahaan kakek."

"Jangan gila!"

Dylan memang sudah sering mendengar teriakan papa, tapi tetap saja dadanya terasa perih. Pak Doni, yang menyetir di kursi depan, pun tidak bereaksi meski Dylan tahu, ia juga terkejut. Dylan semakin membeku di tempatnya. Tidak berani membalas perkataan papa, atau bahkan hanya untuk sekadar melirik ke luar jendela. Ia hanya memandangi jari-jarinya yang saling bertautan.

"Kamu itu cucu pertama Pramodjo," desis papa penuh amarah. "Sudah sepatutnya kamu yang mewariskan seluruh perusahaan."

"Kamu mau Radit yang mengambilny?" Papa memekik nyaring, membuat Dylan memejamkan mata karena telinganya berdengung.

"Mungkin ... memang Radit yang lebih baik dari Dylan," jawab Dylan sangat pelan.

Papa mencengkeram rahang Dylan dengan kuat lalu memutar kepalanya, menyuruh Dylan untuk menatap matanya. Amarah itu terkumpul di kedua mata papa, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dylan terus menatap papa, meski jantungnya berdebar sangat kuat. Dylan selalu tidak berdaya jika berhadapan dengan papa. Kesan dingin yang selalu melekat pada Dylan tidak lagi terlihat karena papa adalah predator di puncak rantai makanan.

"Pengecut kamu!" ucap papa dingin, lalu melepaskan rahang Dylan dengan kasar. "Pokoknya besok kamu minta formulir lagi dan isi dengan benar!"

"Pa ...."

"Doni! Saya mau sampai ke rumah dalam waktu sepuluh menit!"

"B-Baik, Pak."

Papa mendengkus keras sambil melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Desahan gusar terus keluar dari mulutnya. Ia tidak lagi berbicara, tapi Dylan tahu kalau papa masih menyimpan amarah. Dylan pun sudah membayangkan apa yang akan terjadi di rumah nanti.

VillainDove le storie prendono vita. Scoprilo ora