[18] Berawal dari Air Mata

32.6K 4.4K 174
                                    

Prrit!

"Yak! Untuk anak perempuan, jam pelajaran sudah selesai!"

Mendengar seruan Pak Rasyid, anak-anak perempuan kelas 11 IPA 1 yang sedang bermain basket, menoleh. Peluh sudah membasahi setiap kepala. Agenda pelajaran Kesehatan Jasmani kali ini adalah bermain basket. Sebelumnya, mereka sudah latihan berpasangan, lalu dilanjutkan bermain secara berkelompok 6 on 6 selama 15 menit.

"Kalian boleh istirahat duluan," lanjut Pak Rasyid.

Mereka bersorak gembira, berbanding terbalik dengan anak-anak laki-laki yang bersahutan melayangkan protes. Sekarang giliran anak laki-laki yang bermain secara berkelompok. Dan jika sudah begini, artinya mereka akan bermain sampai jam pelajaran habis.

"Mou," panggil Laura dengan napas terengah. "Gue ke toilet dulu."

Mou, yang memang pada dasarnya sangat payah dalam hal olahraga, hanya mengangguk sambil mengibaskan tangan. Tenaganya seolah sudah terkuras habis sampai tidak bisa berkata-kata. Cewek itu memang hebat ketika mengerjakan soal fisika tingkat tinggi atau berdebat dengan Bahasa Inggris. Namun, di pelajaran Penjaskes, jangankan bermain basket, Mou bahkan selalu berada di posisi terakhir dalam materi atletik.

Tidak bisa menahan panggilan alam itu, Laura mengambil langkah lebar menuju toilet. Ia langsung memasuki salah satu bilik yang pintunya terbuka dan menyelesaikan urusannya di dalam sana. Untungnya semua tepat waktu. Perut dan hati Laura menjadi lega.

"Kakak ... Iya, aku udah paham. Tapi, kita nggak bisa kayak gini terus."

Tangan Laura yang ingin menekan tombol flush pun terhenti di udara. Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Angin yang berembus pelan dari jendela kecil toilet membangkitkan bulu kuduk Laura. Ia yakin sudah mendengar suara perempuan berbicara sambil terisak tadi. Masalahnya, kenapa ia harus mendengar suara mengerikan seperti itu di toilet?!

Bagaimana pun, toilet adalah tempat favorit di mana para hantu muncul di cerita horor.

Laura menelan air liurnya. Ia harus segera menyelesaikan urusannya di toilet. Setelah menekan tombol flush, Laura pun merapikan seragamnya dengan terburu-buru. Yang penting celana dalamnya tidak terlihat agar ia bisa segera meninggalkan bilik itu. Laura semakin yakin kalau yang ia dengar tadi adalah suara gaib, karena tidak ada lagi yang terdengar setelah itu.

Keringat membasahi telapak tangan Laura, membuatnya kesulitan membuka pintu toilet. Laura yang dilanda kepanikan, menarik kenop pintu sekuat tenaga sampai menimbulkan bunyi keras. Padahal, keringat bekas olahraga tadi belum kering, kini punggung Laura kembali dialiri keringat dingin. Baru selangkah Laura meninggalkan bilik toilet, pintu di sebelahnya terbuka.

Sialan! Nggak lucu banget kalau gue mati gara-gara ketemu setan, 'kan?

"L-Laura ...."

Kenapa setannya bisa tahu nama gue, Njir?!

Laura bersiap mengambil langkah seribu ketika sebuah tangan dingin menyentuh pergelangan tangannya. Laura memekik sekuat tenaga. Dan karena terlalu panik, kepala Laura tidak bisa memikirkan apapun, bahkan untuk melarikan diri dari toilet. Ia hanya bisa berdiri bodoh sambil merasakan lembutnya tangan yang menyentuhnya.

"Maaf."

Sejak kapan setan bisa minta maaf?

Dan pada saat itulah Laura kembali menemukan akal sehatnya. Setan tidak mungkin bisa menyentuhnya, apalagi sampai meminta maaf. Sentuhannya pun tidak terasa lagi. Merasa penasaran, Laura menoleh perlahan ke belakang. Ya, meski ia tahu itu tindakan bodoh dan sering kali mengutuk aktor film horor yang bertingkah seperti ini, Laura tidak bisa menahan diri.

VillainNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ