[31] Ketika Hati Berbicara

21.8K 2.8K 50
                                    


"Keputusan saya sudah bulat, Mas!"

"Yulia!"

"Anton! Kecilkan suara kamu!"

Kalimat-kalimat bernada tinggi itu menyambut Dylan ketika memasuki ruang baca. Radit yang ditemui Dylan tadi di depan, menyuruhnya langsung menuju ruang baca. Benar saja, keadaan sudah sangat tegang di sini. Ini pertama kalinya Dylan melihat Tante Yulia membentak papa. Di satu sisi, papa pun terlihat sangat frustasi, padahal biasanya papa yang selalu mendominasi.

Tante Yulia yang pertama kali menyadari kehadiran Dylan. Ia menghela napas, berusaha untuk menenangkan diri sebelum melempar senyum tipis pada Dylan. Senyum itu membuat Dylan membeku. Itu bukan senyum canggung yang biasa diberikan Tante Yulia padanya. Senyum itu seperti menggambarkan hati yang terluka dan ketegarannya secara bersamaan. Dylan tidak bisa berkata-kata.

"Dylan," panggil Tante Yulia, membuat papa dan kakek menoleh ke arahnya. "Maafin Tante ya."

Dylan tidak menjawab karena tidak mengerti kenapa Tante Yulia meminta maaf.

"Untuk kali ini, biarkan Tante bersikap egois."

"Yulia, udahlah ... kita bisa bicarakan ini baik-baik, 'kan?" menggamit kedua tangan Tante Yulia, papa mendesah frustasi.

Papa tidak pernah menunjukkan sisi ini di depan Dylan sebelumnya. Ia memang selalu memamerkan kata "cinta" ketika ditanya kenapa memilih untuk menikahi adik kandung mendiang istrinya. Dylan pikir, itu semua omong kosong. Hubungan papa dan Tante Yulia selalu terlihat hambar di mata Dylan. Tante Yulia yang pasif dan tertutup bertemu dengan papa yang dominan dan keras. Dylan tidak pernah melihat papa mendekati Tante Yulia terlebih dulu. Tante Yulia pun terlihat selalu menarik diri ketika bersama papa.

Namun sekarang, Dylan bisa mengerti arti kalimat cinta bisa mengubah seseorang. Pasti tidak ada yang menyangka kalau laki-laki yang tengah memohon itu dan laki-laki yang membuat bibir Dylan sobek ini adalah orang yang sama. Dalam hitungan beberapa jam saja, sosok itu luntur dari sosok papa.

"Selama ini saya diam bukan karena takut." Tante Yulia menarik tangannya kembali. "Tapi karena saya masih menghargai Mas sebagai kepala keluarga yang bisa mendidik anak-anak agar jadi lebih baik. Saya yakin Mas bisa berubah—seperti kata Mbak Amy."

"Saya capek, Mas ...."

"Anton." Panggilan kakek membuat papa tidak jadi membuka mulutnya. "Yulia udah kasih tahu semua yang kamu lakukan pada Dylan."

Mata papa membulat. Selama ini pun Dylan skeptis kalau Kakek tahu apa yang dialaminya. kakek adalah tipe orang yang tidak mau campur urusan orang lain sebelum orang itu yang meminta. Termasuk masalah rumah tangga anak-anaknya. Dylan sendiri tidak pernah perlindungan dari siapa pun. Ia baru menyadari, kalau itu adalah langkah terbodoh yang diambil Dylan.

"Yah, itu—"

"Saya tahu, kamu ingin Dylan jadi pemimpin Pramulia yang unggul. Tapi ... saya tidak bisa membenarkan jalan yang kamu ambil." Kakek memijat pangkal hidungnya, terlihat sangat menyesal.

"Saya tidak bisa tidak setuju dengan pendapat Yulia."

"Ayah!"

"Yulia, silakan kamu urus perceraian kalian."

Kakek bangun dari duduknya dan beranjak dari sana. Ketika melewati Dylan, ia menepuk pundaknya dan sedikit memberi remasan—seperti tengah menyalurkan energi pada Dylan. Dylan hanya menoleh sekilas, dan kakek pun keluar dari ruang baca.

VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang