[28] The Unwanted Tears

21K 2.7K 38
                                    

Rasanya Laura ingin menghancurkan tempat ini dalam sekali tendangan.

Ia masih bisa menerima ketika papa mengajak makan malam, meski kondisi jiwanya sedang tidak baik. Laura, yang biasa cukup memakai BB Cream dan lip tint, bahkan sampai harus memakai concealer untuk menutupi kantung matanya yang menghitam. Namun, ketika melihat kalau papa tidak sendirian di meja itu, Laura sedikit pun tidak memiliki keinginan untuk tersenyum.

Papa melihat kehadirannya dan langsung menghampiri Laura. Dengan tuntunan tangan lembut, ia membawa Laura duduk di meja. Restoran Perancis yang berada di dalam sebuah hotel ini memang dikhususkan untuk tamu VIP saja. Awalnya Laura pikir, ia bisa sedikit menghilangkan stres di sini. Sebaliknya, Laura harus bersiap tingkat stresnya malah meningkat beberapa jam kemudian.

"Apa kabar, Laura?" sapa Om Anton, sambil mengulurkan tangannya pada Laura.

Laura tersenyum tipis, cenderung sinis, tapi tetap menjabat tangan Om Anton. "Baik, Om."

"Oh iya, kenalin ini istri dan anak-anak Om. Kamu pasti udah kenal Dylan, 'kan?"

Ya, benar, Om Anton datang bersama keluarganya. Istrinya yang cantik itu memakai gaun sederhana berwarna biru dongker. Ia tersenyum pada Laura, lalu memperkenalkan diri. Di cerita sebelumnya pernah disinggung bahwa Dylan mempunyai ibu tiri yang sekaligus tante kandungnya sendiri. Hal itu adalah salah satu sisi kehidupan Dylan yang banyak mengundang simpati di kolam komentar.

Setelah itu, Om Anton memperkenalkan Ermano—adik tiri Dylan. Namun, Laura tidak terlalu menaruh perhatian pada Ermano karena matanya melirik tajam ke arah Dylan, yang hanya duduk diam dengan pandangan lurus. Untuk kali ini, dua sisi diri Laura sepakat untuk tidak terpesona pada Dylan yang tampil sederhana dengan blazer hitam di luar kaus hitam polosnya.

Mereka duduk bersama di satu meja, tapi hanya para orang tua yang mengobrol, sedangkan Laura dan Dylan tidak saling bicara. Entah apa yang membuat cowok itu menjadi lebih dingin dari biasanya. Ia sama sekali tidak mau menatap Laura, bahkan mulutnya pun terkunci rapat. Laura diam saja karena hatinya sangat tidak nyaman saat ini. Ia merasa dikhianati, meski tahu kalau Dylan tidak akan paham situasinya.

"Papa dengar, kamu pernah main ke rumah Laura, ya?" Om Anton bertanya pada Dylan.

Cowok itu terkesiap, lalu menatap ke arah Laura sekilas. "Waktu itu, Radit yang suruh saya ke sana."

Laura mengerutkan dahi. Ia sama sekali tidak mendengar hal itu ketika Dylan ke rumahnya. Dylan hanya beralasan ingin membantu Laura karena materi yang sama. Obrolan yang dibahas mereka saat itu pun tidak ada nama Radit. Laura mendengkus, merasa kalau selama ini Dylan hanya berpura-pura baik padanya.

Harusnya Laura memang tidak perlu berdamai dengan Dylan.

"Jadi, saya bukan datang secara khusus untuk Laura," lanjut Dylan, ia pun menatap papa Laura. "Maaf ya, Om, udah membuat Om salah paham waktu itu."

Suasana menjadi canggung karena jawaban Dylan. Om Anton tertawa kering, dan dibalas oleh senyuman tipis dari papa. Papa juga terlihat tidak puas dengan sikap Dylan itu. Meski waktu itu papa memang bersikap sedikit dingin, tapi setidaknya ia tidak sampai mengusir Dylan. Namun kali ini, Laura tidak menjamin papa bisa menahan diri kalau Dylan terus bersikap seperti itu.

"Nggak apa-apa," kata papa. "Mungkin saya juga harus lebih memperhatikan Laura agar tidak sering merepotkan Dylan. Apalagi sampai meminta Dylan menemaninya ke toko buku."

Ketika mendengar papa mulai membahas foto itu, punggung Laura langsung meremang. Ia jadi menantikan jawaban apa yang akan Dylan berikan. Ini sangat aneh bagi Laura. Ia menyukai waktu ketika bersama dengan Dylan. Namun, di satu sisi, ia juga takut kalau terus seperti ini. Ia takut tidak bisa mengendalikan diri dan pada akhirnya jatuh ke lubang yang sama.

VillainWo Geschichten leben. Entdecke jetzt