[30] Punishment

22.3K 2.7K 84
                                    


Bilah rotan itu seakan mengiris kulit Dylan. Dylan tidak tahu lagi bagian tubuh mana yang belum tersentuh rotan papa. Seluruh tubuhnya perih dan linu. Bahkan untuk berdiri tegak saja Dylan tidak mampu.

Seperti dugaannya, papa tidak melepaskan Dylan begitu ia pulang ke rumah. Bagaimanapun, Dylan tidak bisa terus menghindar. Ia harus menghadapi ketakutannya. Tamparan, tendangan, pukulan rotan bertubi-tubi dilayangkan papa ke tubuh Dylan. Tidak lupa kata-kata kasar penuh doktrin yang memojokan Dylan. Papa sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk Dylan berbicara.

"Pa ...." dengan suara parau, Dylan mencoba mengatakan sesuatu. "Udah cukup Dylan jadi boneka Papa selama enam belas tahun."

Papa mencengkeram rahang Dylan, membuat mata mereka bertemu. "Kamu bukan boneka Papa. Kamu adalah investasi Papa!"

"Aku bukan barang."

Cengkeraman papa menguat. "Kamu nggak punya hak untuk bicara sebelum menduduki kursi pemimpin Pramulia."

Dengan kekuatan terakhir, Dylan menggenggam tangan papa yang tengah mencengkeram dagunya. Kalau biasanya hanya rasa takut yang menyelimuti Dylan ketika berhadapan dengan papa, kali ini berbeda. Dylan tidak tahu darimana datangnya kekuatan ini. Kekuatan untuk mendorong papa menjauh darinya.

"Papa juga nggak punya hak untuk berbicara," desis Dylan. "Karena Papa bukan pemimpin Pramulia."

Dylan merasakan kuku-kuku jari papa menusuk kulit wajahnya, seakan ingin merobek habis. Tanpa melepaskan tangannya, papa pun menampar keras pipi Dylan dengan tangan yang satu lagi. Suara tamparan itu menggema di ruangan dingin ini. Dylan pun jatuh tersungkur di lantai. Pipi yang sudah biru itu mengeluarkan rona merah legam. Luka yang baru mengering beberapa saat lalu kembali terbuka, mengeluarkan darah segar di bibir Dylan.

Tidak puas sampai sana, papa menarik kerah kaus Dylan hingga wajah mereka berhadapan lagi. Dylan mencoba untuk tetap menatap wajah papa, meski pandangannya sudah mulai kabur. Papa siap melayangkan tamparan entah-keberapa-belas-kalinya ketika kunci pintu ruang kerja dibuka dan Tante Yulia menyeruak masuk dengan wajah penuh air mata.

Tante Yulia mendorong papa agar menjauh dari Dylan. "Mas! Udah cukup!"

Dylan masih duduk bersimpuh di lantai karena kakinya belum menemukan kekuatan kembali. Ia menatap Tante Yulia dengan tajam, berpikir apa yang sedang dilakukan perempuan itu sekarang. Tante Yulia tidak pernah menerobos masuk ketika Dylan dan papa sedang "berdiskusi". Selain itu, bagaimana bisa Tante Yulia membuka kunci pintu ruangan ini? Apa dia menggunakan kunci cadangan yang disembunyikan papa?

"Yulia, kamu keluar dulu. Saya masih belum selesai kasih Dylan pelajaran."

Berbeda ketika berbicara dengan Dylan, nada bicara papa jauh lebih lembut. Amarah memang masih tergambar di kedua bola matanya, tapi tidak sekalipun ia berteriak pada Tante Yulia. Papa hanya berani memukul Dylan, padahal Mano juga tidak lebih baik darinya. Tangan Dylan terkepal di sisi tubuhnya. Semua ini tidak adil. Ia yang selalu berusaha keras, tapi ia juga yang selalu mendapat luka-luka ini.

"Kita bisa bicara ini baik-baik, 'kan?" Tante Yulia melirik ke arah Dylan, tangisnya pun makin deras. "Nggak perlu mukulin Dylan kayak gitu, Mas!"

"Ini biar Dylan ngerti! Pokoknya kamu keluar dulu."

"Kalau gitu, Mas pukul saya juga!"

"Yulia!"

"Jangan sok pahlawan!"

Dylan mendengkus. Meski betisnya masih perih karena pukulan rotan dan tendangan papa, Dylan mencoba untuk tetap berdiri. Ia berhadapan dengan Tante Yulia yang menatapnya penuh iba.

VillainWhere stories live. Discover now