Dendam yang Terkubur

453 90 27
                                    

NCT 127 - White Night

Semesta menggenapkan takdir yang ganjil. Begitu saja waktu terus berotasi hingga tibalah kisah ini mesti bercerita menyoal tentang; dendam, amarah, dan gundah yang terus bergulat dalam hati.

Dua ribu tujuh belas, di tempat yang begitu gelap tanpa sinar lunar dan kejora.

Damara turun dari bus, ia hanya dituntun sebuah harapan tipis yang membuatnya memilih memberhentikan tujuan di dekat toko bunga yang pencahayaannya begitu temaram. Jaket yang Jenggala berikan ia masukkan ke dalam tas miliknya. Ia ketiduran terlalu lama.

Damara pelupa. Ia salah naik bus.

Mestinya ia pergi ke daerah dekat alun-alun Kota Bandung. Sebab sama-sama berwarna biru Damara pikir bus ini akan membawanya pada tempat tujuan yang ia pilih.

Tapi nyatanya tidak. Keteledorannya yang pelupa ditambah situasi yang membuatnya pening bikin ia melenceng sangat jauh dan terdampar di kota yang penuh kenangan ini. Salahkan pula kantuknya, Kisan, dan Jengga sebagai sang penyebab yang menjadikan ini sebagai petaka.

Sebenarnya ini bukan masalah besar.

Yang jadi masalah adalah hatinya yang mendadak bergolak dan berang tanpa sebab. Mengobrak-abrik ketenangan hatinya tanpa tahu diri.

Pemuda itu lalu berjalan memasuki area toko yang sepi. Aromanya begitu kaya, bebauan yang begitu membuat hidung tergelitik itu terlalu adiktif hingga betah berlama-lama memenuhi paru-paru yang selalu kembang kempis tak henti. Ada banyak bebungaan segar yang mengintip dari pot-pot besar, karangan bunga yang belum jadi berada di sisi yang sedikit tersembunyi. Ketersimaan Damara menyasar pada sebuah buket bunga yang di dalamnya diisi bertangkai seruni berwarna kuning yang masih segar.

Ada bapak-bapak keluar dari bilik air di dalam.

"Pak, seruni ini harganya berapa?" tanya Damara sembari menyentuh bunga yang begitu menggunduk.

Bapak itu menyebutkan sebuah nominal, tanpa berpikir panjang Damara menyetujui harga tersebut tanpa menawar. Baginya, seruni lebih berharga nilainya ketimbang uang. Bagi seorang Jeremiah setangkai seruni dapat menumbuhkan asa yang asalnya begitu tipis dan rapuh menjadi sebuah harapan tebal yang siapa tahu dapat terjadi di masa yang entah.

Sekarang, sebuket seruni itu tergenggam di tangan Damara yang sibuk berjalan mencari angkutan umum untuk membawanya ke Bandung.

"Seruni itu adalah bunga kesukaan Bunda." monolog Damara, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

"Tapi Damar lupa, Bun. Damar lupa, seruni yang Bunda suka itu sebenarnya warna apa ...."

Gejolak hatinya tiada takut terus bersenda gurau mempermainkan hati yang begitu sensitif untuk diajak bercanda.

"Bunda kenapa buang Jeremiah? Kehadiran aku yang begitu haram wujudnya apa sebegitu mengotori wajah Bunda di mata masyarakat?"

Damara tanpa tega menarik sekuntum seruni dari tangkainya dengan paksa.

"Bunda, untuk kali pertama, aku marah sama Bunda."

Seruni yang masih segar itu kemudian hancur dan koyak di telapak tangan Damara.

"Setiap malam aku selalu berdoa agar aku bisa kembali dipertemukan dengan Bunda, Papa, Abah, dan Kinanti. Tapi apakah di sana Bunda mengumandangkan doa yang sama seperti yang selalu Damar ucapkan?"

Setetes air meluruh membasahi buket yang kini tengah Damara tatap lekat-lekat.

"Bunda ngga perlu membalas, bertemu ataupun tidak Damara sudah tahu bahwa kalimat sayang yang Bunda ucapkan pada malam itu adalah sebuah bentuk muslihat agar aku bisa enyah dan berhenti mengotori popularitas Bunda yang sungguh sangat sempurna."

--MoonStar--Where stories live. Discover now