Perjalanan Waktu | 3

661 131 71
                                    

Yang tertera di multimedia adalah sebuah lagu rekomendasi, judulnya Akmu-Chantey. Boleh banget kalau baca ini sambil dengar lagu itu.

Hehehe ♡-.♡

Selamat membaca!💖

-

Ditengah malam yang begitu sepi, Kisan terjaga. Mimpi buruknya datang begitu cepat. Kakinya mendingin, kontras dengan jantungnya yang berdentam-dentam tak keruan. Ia melirik pada seseorang di sampingnya, Saki tertidur dengan posisi terduduk, kepalanya menelungkup di samping Kisan.

Pemuda itu mengerjapkan matanya, menukar posisi berbaringnya dengan duduk lantas dengan sekali tarikan ia mencabut selang infus yang tadi sore baru kembali dipasang. Pada dahinya yang dikucuri peluh, sempat ada kerut yang mencerminkan rasa sakit yang membuat sendi tangannya kaku untuk sesaat. Rasa linu mulai menjalari punggung tangan, namun ia tetap abai.

Ditengah temaramnya cahaya, kedua tangan itu bergerak pelan mencari sesuatu yang bersembunyi di balik bantalnya.

Gerakannya terhenti. Tidak ada. Ia tak menemukan permen miliknya, satu-satunya obat yang membuat Kisan bisa merasa sedikit tenang.

Kisan tak menyerah, ia menggeliat perlahan dan kemudian turun dari pembaringan. Piyama rumah sakit-nya kusut, pemuda itu sempat berjengit saat merasakan kakinya yang telanjang bercumbu dengan lantai yang beku.

Sebelum melangkahkan kedua tungkai menuju pintu, ia menyempatkan diri untuk menatap pada sang Mama. Pandangannya tak bisa dijabarkan pun di artikan, akan tetapi kegetiran di raut wajahnya menjelaskan semua tanya yang dibisikkan kepala.

Darah merembes dari punggung tangan, namun pemuda itu tak begitu ambil pusing. Mengelapnya ke bagian belakang celana adalah pilihan yang diambil, meninggalkan setitik noda pada kain putih yang tak lagi suci.

Dengan gontai ia memutar kenop pintu. Pintu berderit, tapi tak lama, Kisan buru-buru menyelinap dan menutupnya dengan sebuah debuman kecil. Ia melirik ke koridor yang lengang, sesekali terdengar suara perawat yang tengah bicara, dengkuran halus, langkah yang terburu, serta suara putaran roda brankart yang diiringi isak tangis seorang perempuan.

Udara lembab menyapa tubuh saat Kisan mulai berjalan mengendap, matanya sesekali mengintip pada ruangan tempat perawat berjaga. Hanya ada dua orang di sana, tadi bisa Kisan lihat ada beberapa orang yang berlari dan berbicara soal pasien yang kritis.

Merasa situasi sepi kini berpihak padanya, Kisan membungkuk kala melintasi dinding kaca lebar yang membentang hingga ujung koridor. Ia nenengokkan kepalanya ke belakang. Tak ada orang yang mengikutinya.

Syukurlah.

Selepas itu, berbekal keyakinan dan kepercayaan dirinya, Kisan membelokkan badan saat panah bertuliskan kantin yang tergantung di langit-langit menunjukkan arah kanan.

Ia dengan lihai bersembunyi di belakang pilar-pilar lebar saat berpapasan dengan orang lain. Entah itu perawat, orang yang baru saja keluar dari ruang perawatan, atau seorang pemuda berjaket hitam yang sibuk memeluk botol air di dadanya. Ada sekelumit gentar saat sesuatu menjalari punggungnya, rasa yang menyeludupkan gelisah dan sedikit was-was takut ketahuan. Kisan takut kembali dipaksa tidur dengan tenang menggunakan suntikan.

Serta-merta angin baik menuntunnya melintasi tempat terbuka yang di sisiannya tertanam pohon-pohon tua dan rumput hijau tipis yang melindungi tanah sampai ke taman rumah sakit. Kisan celingukan, ia merogoh saku celana dan menemukan uang kertas dengan nominal sepuluh ribu.

Kedua tungkai menari merangsek udara dingin, ubin-ubin putih menuntun jalannya yang agak sedikit terseok. Suara jangkrik terbang di atas kepala, kemudian turun perlahan menyapa telinga. Kisan berjalan dengan netra yang diisi penuh oleh ketiadaan, rambut-rambut yang telah lama tak dipangkas menjuntai bebas menutupi dahi, kelamnya langit nyatanya tak bisa menandingi perasaan duka yang dialami seorang Kisan Aswangga.

--MoonStar--حيث تعيش القصص. اكتشف الآن