Jembatan yang Terputus

370 35 14
                                    

Dua detik, dua jam, lalu berubah menjadi dua hari, tanpa bisa diduga ia menjelma menjadi dua bulan yang tak terasa berlalunya. Waktu begitu membumi-hanguskan akal Arkais yang carut-marut memikirkan sesuatu dalam kepala. Di pelataran halaman pedesaan yang sepi, ia mencoba menghubungi Jihan. Suara panggilan telepon begitu kontras dengan irama kepakan merpati yang terbang ramai-ramai di angkasa.

Lantas ketika akhirnya suara Jihan terdengar dari sebrang sana, Arkais pada akhirnya mampu mematut wajah lebih rileks, tak segundah dan sekaku asalnya. Ia melegakan tenggorokannya dan berdeham.

"Jihan, surat wasiat milik Gusti sudah ditemukan." ucap Arkais dengan nada agak khawatir.

Telepon tak lagi mengabarkan suara Jihan, melainkan sebuah suara aneh laiknya ada sepasukan semut yang tengah menginvasi telepon tersebut.

Di sebrang sana sepertinya Jihan tengah membenarkan posisinya. Ada sebuah jeda sebelum lontaran pertanyaan bernada getas disampaikan Jihan, "Bagaimana bisa?"

"Sudah kubilang, keputusan kita saat itu begitu gegabah Jihan. Salah satu dari mereka sepatutnya dibawa ke Leiden, seperti rencana awal."

Arkais menatap pada cakrawala yang begitu biru, desakan angin memburu tubuhnya yang dibanjiri keringat.

"Jadi sekarang kau menyalahi takdir dan melimpahkan kesalahan seluruhnya padaku? Sementara sejak mereka kita curi, kau dan kebangsatanmu begitu menikmati cuan-cuan yang kau dapat? Begitu caramu bekerjasama, Arkais?"

Suara Jihan terdengar samar-samar, dilatarbelakangi suara debuman pintu, Arkais menebak jika wanita itu kini sedang berbenah dan melesat ke kawasan Dago untuk mencabik-cabik dirinya dengan umpatan.

"Begitu lalainya engkau, Arkais. Jika mau aku balikkan, dulu kau yang sesumbar akan menghadang siapa saja agar kasus ini tak tercium siapa pun, lalu sekarang? Nyatanya suruhan Gusti masih berkeliaran dan mendapatkan bukti itu, sekarang siapa yang gegabah?" cerca Jihan, sekarang ia terdengar tengah menuruni tangga bersama dengan stilleto miliknya yang setia melingkupi kaki.

Hati Arkais berdentam menahan amarah yang nyaris meledak. Ia mengepalkan jemari, membuat amplop coklat yang berisi foto usang dua bayi laki-laki ikut teremat hingga kusut.

"Wanita munafik! Jelas-jelas ini kesalahan kita bersama! Sejak awal tidak ada yang menyalahkanmu, aku hanya berbicara soal seharusnya!"

"Yang seperti itu, pun, namanya menyalahkan, Arkais. Jangan berkilah, tandanya kau menyesali apa yang terjadi sekarang!"

Arkais menukar posisi berdirinya dengan duduk di salah satu gundukan tanah yang padat. Ia memandangi amplop coklat kusut di tangannya dengan gamang.

"Jihanna, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya kita bersembunyi dari orang-orang Gusti. Aku tidak mau kehilangan apa yang telah aku raih!"

Jihanna mengumpat di sebrang sana, "Tch, kau tidak mau berkorban, Arkais. Naif sekali."

"Sebermulanya ini berawal dari keputusanmu membuang anak itu di pasar malam. Segalanya jadi goyah dan tidak berjalan sebagaimana mestinya, ia jadi dekat dan anakku dan menambah situasi menjadi runyam!"

"Hoo, siapa yang paling pertama mengeksploitasi? Siapa yang lebih bajingan dengan merampas organ, menjualnya, lantas memalsukan kematiannya? Kau dulu bilang tingkahku kelewatan karena membiarkannya terlunta-lunta di pasar malam. Lantas kau ini harus kusebut apa sekarang, Arkais?" Kalimat bernada ejekan itu Jihan lontarkan dalam satu tarikan napas. Ia memburu, deruan udara yang keluar dari mulutnya begitu mempertegas bahwa kini ia pun sama-sama berang tak terima.

"Di mana waktu itu terjadi, keluarga Gustian akan segera mengetahui keberadaan cucunya. Yang terpenting aku sudah tidak terlibat dengan salah satu dari mereka. Nah, Arkais, selamat menikmati nerakamu. Pertanggungjawaban lah kesalahanmu, seorang diri. Sebab di masa itu terjadi, aku pastikan kau tidak akan menemukanku di negeri ini. Senang bekerjasama denganmu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 05, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

--MoonStar--Where stories live. Discover now