Es Krim

847 162 118
                                    

Mati berkali-kali tak membuat Kamala pantas untuk dicari. Rembesan hujan yang masih tertinggal di atap melunglaikan semut yang sedang berjalan untuk tujuan yang entah.

Pohon berpuncak merah bersiul diterpa angin yang dingin. Kamala menatap pada keriput yang mengukir jemarinya; seperti kacang polong yang terlalu lama direbus. Berjuta lara saling berkelindan, bertaruh soal waktu pulang Kamala.

Mendahului takdir, kata semesta.

Kemudian, sang pemuda yang kini tengah mengundi nasib dengan detak waktu mulai menatap sendu pada seseorang satu yang sudi berada di sisinya sejak dahulu. Entah benar-benar mau atau ternyata karena alasan terpaksa.

Lolongannya tak pernah lolos dari bibir. Gugatan pada semesta tak pernah didengar barang sedikit. Kamala seperti peruntungan yang tak pernah terpakai.

Kamala tak sanggup lagi untuk berpura-pura, ia tak punya kuasa.

Ah, terserah. Ucapnya lelah.

Kamala kini berdiri di samping pagar, bola matanya mengikuti ke mana Kisan bergerak. Memasukan motor ke garasi, ia kemudian berjalan pelan ke arah taman. Selang berwarna hijau ia genggam di satu tangan, ujung selang sudah terhubung dengan keran air yang menciptakan air terjun kecil di mulut selang yang satu.

Kamala tak menaruh curiga pada seorang Kisan Aswangga, maka dengan sisa-sisa tenaga nya yang nyaris raib. Dia tetap memperhatikan Kisan dengan pandangan kosong, pikirannya terbang dibawa kenang, berkeliaran di angkasa luas dengan begitu gegabah.

Lalu, kesadarannya dikembalikan secara seenaknya, kedua matanya yang seterang kosmik langit selatan tiba-tiba membola saat melihat saudara abal-abalnya tiba-tiba menyemprotkan air ke tubuhnya.

"AI KAMU, IH, BASEUH, KISAN!" Kamala mencoba untuk menghindar dengan berjalan kesana-kemari dengan mulut yang terbuka, matanya mengerjap cepat. Kedua tungkai kurusnya berderap dengan cekatan guna bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan di pekarangan rumah. Kisan tertawa keras, ia kemudian membasahi dirinya sendiri hingga kuyup, dengan gembira ia melempar selang air ke sembarang arah. Tubuhnya ia rebahkan dengan sekali bantingan ke atas rerumputan hijau tipis, matanya melengkung, gigi serinya terekspos jelas. Kisan tersenyum dengan cara tidak sopan yang malah membuat Kamala bersedih, entah untuk apa.

Kamala melempar pandangan kaku, ia lalu menghirup napas pelan. Otaknya otomatis menyetel suara tawa sumbang, langkah Kamala pelan saat menghampiri tubuh yang kini tengah telentang menghitung beberapa gumpal awan hitam yang sesekali membercakan cahaya di langit.

Rumputnya sedikit melesak saat Kamala duduk, tanpa bisa Kisan duga, Kamala memaki dirinya dan menatap Kisan dengan nyalang, "Sial. Lo kembali menang, pangeran!"

Raut wajahnya berubah menjadi seseorang yang asing. Bola matanya yang jernih perlahan menggelap, senyum terbit pada bibirnya yang mengering, mencipta senyum ganjil yang membuat Kisan terkesima.

Dengan cepat ia menukar posisi berbaringnya dengan duduk. Pandangan Kisan tak dapat diartikan tapi, kekecewaan terbit di matanya.

Seseorang yang ia kenal dengan nama Kamala kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Berhenti berpura-pura, Aswangga. Berhenti berpura-pura nggak tahu bahwa sebenernya gue ini Damara, bukan Kamala. Bukan saudara lo yang dari lama udah pulang!"

Sebuah foto yang pinggirannya hilang dijilat api terlempar tepat di depan kaki Kisan.

Sosoknya dengan sang adik, Kamala Gersa. Dulu, saat masih berumur tujuh tahun. Pada lembar yang fana itu terpampang wajah anak kecil dengan wajah sembab tersenyum sambil menjilati es krim yang mulai meleleh. Di sampingnya juga ada anak laki-laki, bedanya ia tak tersenyum, hanya menatap dingin pada adiknya, tidak dengan es krim, Kisan berdiri di samping Kamala hanya dengan memperhatikan adiknya makan. Ia tak tergiur, ia tak lapar, ia hanya merasa sedikit senang membuat adiknya sedikit merasa bahagia.

--MoonStar--Where stories live. Discover now