Damai

869 166 85
                                    

Gelap menyambut Kamala yang tengah terlelap panjang. Untuk sejenak, telinganya menjadi menajam menangkap suara. Di sekitarnya ia mendengar ada yang berteriak nyalang, kemudian lirih, ada juga suara gemuruh lalu halilintar yang menyambar, Kamala merasakan ada jeda yang menghalangi. Lalu, terdengarlah suara parau, seseorang menangis.

Bak orang kesetanan, Kisan mengendarai motornya tanpa akal, menerobos kemacetan dengan cepat meski sayup-sayup terdengar beberapa supir angkot dan pengendara motor lainnya mengumpat kesal.

Kamala terkulai lemah di boncengannya, diperjalanan barusan sempat sadar namun mungkin karena kelelahan ia kembali tertidur meski dengan kuyup yang membuat tubuhnya menggigil.

Saat mulai memasuki komplek perumahan, bahu kanan Kisan ditepuk beberapa kali, pelakunya adalah Kamala yang sedang menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia meminta untuk menepi.

Maka, tepat di bawah pohon jambu air yang sedang berbuah lebat, Kisan lekas-lekas menepikan motornya. Kamala buru-buru turun meski masih sempoyongan. Memburu gorong-gorong sambil berjongkok memegangi perutnya.

Tengkuk Kamala menghangat, sebuah tangan memijitnya pelan, "Sok, keluarin aja."

Kisan memalingkan wajah saat Kamala mulai mengeluarkan kacang mete bekas camilannya tadi. Lalu setelahnya, Kisan terperanjat di tempat. Sebentar ia ingat situasi ini sebelumnya. Jika tidak salah ingat, dulu sehabis Kamala muntah seperti sekarang, selanjutnya Kamala pasti akan; menangis.

"Kiki, kamu tèh mau nyekek aku?" Ia terisak sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan, kemudian memeperkan bekasnya ke seragam Kisan, "Huhuhu, kacangnya sayang padahal enak."

Tangan Kisan masih berada di tengkuk Kamala. Beberapa detik berlalu, wajah Kisan masih diam tanpa ekspresi, lalu tiba-tiba seperti masker yang retak. Garis-garis halus mulai muncul di sisi matanya, pada pipinya, juga pada mulutnya yang kini tengah tersenyum.

"TUH KAN, AKHIRNYA KAMU MAU NGOMONG SAMA AKU!" Kisan memekik heboh, wajahnya diisi keterkejutan tapi pada bagian lain di wajahnya ada semburat senang yang begitu membuat hati kembali menghangat.

Di tepian genting, air meluruh mencipta tirai-tirai sempit yang tanpa jeda terus mengguyurkan air ke tanah dan jalan. Kamala kini tengah berteduh di bawah pohon, dengan kisan yang berjongkok di depannya.

Ransel yang telah rusak ia dekap di dada, lalu tiba-tiba Kamala mencebikkan bikir dan memutar bola matanya--ia ngambek.

"Tuh, kamu mah curang. Kenapa sih selalu cuek dan ngerasa gak berdosa, kamu tèh gak inget sama kejahatan kamu dulu, hah? Aku tèh marah sama kamu. Tapi sok liat gera, di meja makan kaya gak ada dosa, cengar-cengir ngasih apel. Kamu kira aku bisa disogok sama seonggok apel yang malemnya udah kamu gigitin tapi gak jadi dimakan?!" Ia merinci semua perbuatan Kisan dengan dagu diangkat dan bibir yang cemberut.

Kisan terkejut, "Lho, emang aku salah apa?"

"Ini nih, alasan kenapa Mama suka kesel pas kamu nggak pernah ngaku cemilin beras mentah. Kamu mah pelupa, Ki."

Dengan gusar Kamala bangkit dari duduknya dan meraih sesuatu dari saku celana abu-abunya.

"Kamu setrika permen-permen aku dan nggak ngerasa bersalah?!" Beberapa bungkus permen yang asalnya berbentuk hati kini menjelma menjadi gumpalan lengket yang merekat dengan bungkus plastiknya. Kamala menjentikkan jari, memelototi Kisan.

"TAPI ITUKAN MASALAHNYA UDAH LALU, PAS SMP, MALA. MASA MAU DIUNGKIT LAGI?!"

"Ya gak bisa gitu dong, gak ada kata selesai kalau kamu belum minta maaf!"

Kisan menautkan kesepuluh jarinya, kemudian memejamkan mata, Ya Tuhan ternyata alasannya karena seonggok permen berlumur gula, mengusap wajah dengan telapak tangan rasanya tidak cukup, jadi Kisan hanya bisa membenturkan wajah ke kedua lututnya dengan gemas.

"Yaudah aku minta maaf deh!" Kisan menyisipkan senyum di akhir perkataannya, menbawa jari kelingkingnya untuk kemudian ditautkan dengan kelingking mirip Kamala, "Udah ya, kita baikan! Nah kalau udah baikan, berarti pulangnya kita bisa main PS bareng lagi!"

Kamala nyengir lebar, ia menggoyangkan kedua tangan mereka, "Iya, Mala juga janji gak akan marah!" Kemudian ia tertawa dengan renyah, bersamaan dengan hujan yang mulai mereda, secercah cahaya muncul menyorotkan jingga, matahari berpamit memutuskan untuk pulang.

"Ini, permen buat Kiki," Kamala sempat berpikir sejenak, kemudian mengambil sebungkus permen dari saku tasnya, ia membuka bungkusnya, kemudian seperti biasa menjejalkan permen ke mulut Kisan dengan cepat. "Udah, gak usah pake ngeriyep-ngeriyep gak suka gitu! Aku juga tau kamu suka ngambil satu di laci pas aku tidur! Hayu pulang, Mala laper mau makan!"

Kamala menarik kerah kameja Kisan dan lebih dulu duduk di jok motor, "CEPET IH INI TÈH DINGIN TAU!"

Kisan cemberut, kemudian tanpa daya mengikuti keinginan adiknya. "Mala, kalau naik motor jangan banyak gerak, nanti labuh kamu nangis gera, ah!"

"Gak akan jatuh, kan Kiki yang bawa, huehehehehe." Kamala memukul keras punggung kembarannya sambil tertawa, kemudian selalu tanpa Kisan sadari, kedua roda itu membawa mereka kembali melintasi taman  yang dulu menjadi teman mereka bermain bersama.

Jika tadi hatinya masih diisi sunyi, sekarang keadaan mulai membaik. Mereka kembali berbaikan. Semesta itu selalu penuh kejutan. Tapi Kisan tak mau menerka lagi, takut-takut nanti malah kembali sakit mencecap sepi.

"Kiki, Sagara gimana kabarnya, ya? Aku kangen ih. Dia tèh lucu tau, inget gak kamu dulu pernah melototin dia, aku teh kasian tapi liat dia malah pengen nyubit pipinya! Gemes banyak-banyak pokoknya!" Ia bercerita heboh di motor, bahkan saat Kamala merentangkan tangan lebar-lebar mengekspresikan kesenangannya, motor mereka sempat kehilangan kendali, namun untungnya tidak jatuh.

Sementara Kisan hanya bisa berdecak sebal. "Gak tau, gak inget aku. Masih kesel pokoknya!"

Kamala kemudian terdiam, kemudian mengulum senyum  pahit dengan tiba-tiba.

Soal permen, setrika dan semuanya  sebenarnya adalah dusta, pikirnya.

Kemudian mereka kembali terdiam.

Terlalap emosi masing-masing.

Kisan dengan perasaan bahagia karena telah berdamai dengan saudaranya.

Dan Kamala dengan dusta dan sakit yang senantiasa merongrong memintanya untuk pulang.

Tak ada kata damai yang pas untuk mengekspresikan keduanya. Tapi ada satu kata yang pas untuk menautkan semua titik-titik yang mulai rumpang, dan  menjauh.

Jeda.

Jeda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


--MoonStar--Where stories live. Discover now