BAB 16. Alasannya

Start from the beginning
                                    

Leana tiba-tiba menyela. "Tidak usah resepsi pernikahan tidak apa-apa, Kak Aksa. Hanya pencatatan sipil dan pemberkatan saja, tidak usah ramai-ramai. Jangan dipaksakan. Pemulihan pasca operasi Sena pasti lama dan menyakitkan."

"Tanpa ibumu, ayahku pasti masih tetap kukuh untuk menggelar resepsi dan mengesampingkan Kak Sena."

Ares menghela napas, ia sesap kopi hitamnya. Devan meletakkan vapor-nya pada meja tepat di samping botol liquid vape. Punggungnya bersandar pada kursi.

Devan tersenyum samar, mengangguk sebagai respon dari cerita Ares.

"Omong-omong, Kakak benar-benar tidak masalah kalau kejadian tahun lalu terulang lagi? Apalagi kalau teman-temanku tahu aku dan Kakak akan menjadi saudara."

Ares lagi-lagi menghela napas. Ia terdiam, enggan menjawab Devan.

"Kenapa kamu memilih untuk menyukai sesama laki-laki?" tanya Ares, mengalihkan pembicaraan.

Devan meminum latte-nya kemudian membasahi bibir dengan lidah. "Persetan dengan semua wanita."

Ares menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti.

"Dulu. Tapi, setelah mencoba menjadi salah satu bagian dari komunitas pelangi itu, mulai menjalin hubungan sesama jenis, menyalahi kodrat dan akhirnya putus, aku jadi sadar. Perempuan dan lelaki itu sama brengseknya. Setelah kupikir-pikir lagi, aku pihak atas, pihak dominan, tapi selalu nyaris mati kesekian kalinya setiap bertengkar dengan Rava. Sejak saat itu, aku berusaha agar kembali normal lagi. Then ... yeah, I think I'm normal now."

Rava, lelaki yang pernah menjadi pacar Devan. Ares sejujurnya merinding, tapi ia tetap mendengarkan.

"Trauma. Aku punya trauma pada perempuan. Itu alasanku. Aku tahu, aku salah. Tapi, Kakak akan mengerti semuanya dan alasanku menjadi gay setelah mereka menikah."

Ares lagi-lagi tidak mengerti sementara Devan kini meraih vapor kemudian menghirupnya.

Devan mengembuskan kepulan asap dari mulutnya.

"Kakak jaga saja Kak Sena," ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "aku tahu, Kak Sena diam-diam juga menyimpan banyak luka yang belum mengering dalam hatinya. Cobalah lebih terbuka dengannya."

Devan tersenyum kecut. "Baik aku atau pun Kak Sena, kita sama-sama menyedihkan."

Ponsel Devan berdering. Ia lantas meraih ponsel dalam saku dan menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum ia menerima panggilan yang masuk.

Devan mendekatkan kursinya pada kursi Ares kemudian menekan tombol loudspeaker. "Kak Sena menelepon."

***

"Tidak usah operasi juga tidak apa-apa," celetuk Sena.

Aksa lantas menoleh pada Sena yang tengah memainkan ponsel, bertukar pesan dengan Luna.

"Apa maksudmu? Ayah sudah mendaftarkan jadwal operasimu. Bulan depan kamu sudah bisa dioperasi."

"Kata ayah, pada akhirnya, aku akan binasa, 'kan?"

"Sena!"

Kepala Sena rasanya sakit mendengar bentakan Aksa. Sungguh, tidak bisakah sehari saja Aksa tidak meninggikan intonasinya? Ia mendongak, ditatapnya Aksa yang tengah menautkan alis tidak suka.

"Aku tidak akan merepotkan Ayah. Lima bulan lagi, ingat? Ayah tidak lagi kerepotan setelah lima bulan. Tidak ada gunanya operasi sampai seratus kali kalau aku masih belum mendapat donor katup jantung."

Aksa berjalan mendekat, berdiri di samping Sena.

"Lalu, kalau kamu kambuh dan masuk rumah sakit lagi, apa tidak termasuk dalam kategori 'merepotkan ayah', hm?"

Sena diam, tidak sanggup lagi meneruskan debat dengan Aksa. Mata, hidung dan telinganya panas, menahan tangis. Sena menatap layar ponselnya dan mengernyit.

Luna
Senaaa, jangan lupa minum obat! Kamu harus sembuh, ya? Jangan sedih lagi.

Sena sontak meletakkan ponselnya tanpa membalas pesan Luna. Jantungnya berdebar lebih kencang, Sena nyaris lupa jika Luna menyukai Ares. Sena menghela napas, bagaimana ia bisa melupakan Luna jika setiap harinya Luna selalu seperti ini?

"Sena. Sekarang, apa maumu?"

Sena menoleh, ditatapnya sang ayah dengan lekat.

"Aku? Tidak ada. Aku tidak mau mengharapkan apa-apa. Termasuk berharap pada ayah."

Aksa seketika kehilangan kalimatnya setelah menangkap sorot pandangan Sena yang kosong. Sena menurunkan pandangannya, menatap ponsel yang tergeletak di tepi ranjang.

"Sena ..."

Sena meraih ponselnya, menekan tombol panggil pada kontak Devan dengan ragu. Ia lagi-lagi menghela napas, membiarkan panggilan tetap berlangsung setelah Devan menjawab telepon Sena. Sena menelungkupkan ponsel pada ranjang.

"Jangan seperti ini, Sena. Jangan buat ayah semakin pusing karena kamu terlalu banyak protes. Menurut saja, bulan depan kamu operasi."

Sena memejamkan mata, sedikit meninggikan intonasi. "Kapan aku protes, Yah?!"

Sena terdiam beberapa saat, mengatur napas.

"Aku sangat merepotkan ayah dan semua orang, ya? Sampai-sampai Ayah, Ares dan Devan pun berkata seperti itu padaku. Iya, Yah?"

Aksa lagi-lagi dibuat bungkam, menatap gurat luka yang terlukis jelas di kedua mata Sena. Dada Aksa menyesak. Sesal kembali membelit tenggorokannya. Dalam hati, Aksa berulang kali menyesali perkataannya.

"Kenapa aku dilahirkan seperti ini, Yah? Kenapa harus aku yang menjalani hari-hari seperti ini? Kalau tahu seperti ini jadinya, harusnya aku tidak usah lahir saja."

Tangan Aksa terkepal. "Sena, ibumu mempertaruhkan nyawa saat melahirkan kalian! Kamu, harusnya digugurkan saat dalam kandungan, tapi ibumu tetap kukuh mempertahan ka---sial."

Aksa menutup mulutnya sendiri. Ia memejamkan mata erat sekilas, kemudian menatap Sena yang sudah berkaca-kaca.

Sena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Jadi ... sejak awal aku memang tidak dikehendaki? Karena ini ayah memperlakukanku seperti ini? Karena ini---" suara Sena tercekat. "Karena ini ayah tidak pernah mau membahas tentang ibu dan kematian ibu saat aku bertanya pada ayah?"

 "Karena ini ayah tidak pernah mau membahas tentang ibu dan kematian ibu saat aku bertanya pada ayah?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Inhale ... Exhale ...

Detak. ✔Where stories live. Discover now