19. Talking to

19 4 0
                                    

[Jevan]

The world was never perfect to begin with.

It's been always so shattered and dismal. Doesn't necessarily mean that we grow without hope, though.

Your family builds you. Your rough, unpaved path strengthens you. Your friendship refines you. So does mine. There, my world has been perfected, then—by these bunch of idiots in front of me, for instance.

By the time I was thinking about this, they were busy stuffing their gluttonous mouths, fulfilling their stomachs.

"Pass me that!" Brian said, almost shouted.

"Beli sana sendiri!" Tya menyelamatkan es tehnya. Brian mengambilnya dengan paksa sambil kewalahan menyeka keringat.

"Anjing! Gitu lu bilang nggak pedes!" ucapnya marah-marah setelah menenggak segelas es teh milik Tya tadi. Dia nggak tau bumbu siomaynya sudah ditumpahi sambel yang diaduk rata oleh Bima.

Bima yang sengaja mengerjainya tertawa sampai menyemburkan kerupuk yang tengah dikunyahnya.

Their foolishness was what kept me alive. Another semester had just passed and my new group assignment on Principles of Marketing marked the start of the new semester. Semester tiga adalah semester yang mulai memancing kami semua untuk sering-sering menarik napas panjang. Baru saja seminggu kelas berjalan, tugas makalah sudah berdatangan tanpa diundang.

Phillip mendekati meja kami berempat, membawa setumpuk buku dan melambaikan tangannya sekaligus ke Mas Arief, pedagang bakso kantin kami. Dia duduk setelah memesan seporsi bakso urat.

"And a new chapter has just begun.." katanya, merujuk pada semester baru yang kami hadapi.

"And the best part is.." Brian said dreamily.

"..is?" the rest of us asked almost in unison.

"We've got new juniors among us." he said sneakily with his eyes scanning the whole canteen, swapping the area which was then full of new students walking shyly in groups, giggling and sneaking a peek at us. "I mean.. we're no longer at the bottom of the food chain."

Udah nggak ada yang gagal menebak kemana arah pembicaraan Brian. He sounded like a cougar getting ready for a feast in his new hunting ground.

"Dira kemana ya?" tanya Phil.

"Nggak tau, tadi pagi ada kok di kelas." Tya menjawab.

"Kemaren juga masih makan ama gue di nasi urap." sahut Bima.

"Iya sama gue juga masih main kapan hari." kata Brian. "Rabu juga ditemenin ke perpus sama Pil, ya nggak?"

Phillip mengangguk.

"I haven't talked to her for a while." gue menimpali. Brian melirik gue dan menghentikan pandangannya sebentar.

"Kok sejak akhir semester lalu jarang nimbrung bareng kita kenapa ya?" dahi Phillip berkerut.

"Iya, ya? Jangan-jangan dia sekarang sama mas-mas temen lu yang nganterin dia pulang itu, Ty?" ujar Brian membuat Tya terbatuk-batuk.

"Ngawur! Cuma nganterin doang kok. Udah gue tanya juga, tukeran kontak aja enggak mereka... uhm, kata Dira sih." Tya menjawab sambil melirik Phillip.

"Apa sibuk paper ya?" tebak Bima lagi.

"Gue sekelas terus sama dia, we haven't got that many, though. Atau jangan-jangan dia mau nyari gerombolan baru yang lebih menguntungkan?" Brian menambahkan.

"I knew it! Pantes sok sibuk, abis kelas sering ngacir duluan, nemuin kita sesekali, pisah-pisah lagi per orang? Am I finally gonna lose her..." kata Bima menerawang.

Our Daysحيث تعيش القصص. اكتشف الآن