11. I'm Serious

55 7 5
                                    

[Dira]

Pagi-pagi di hari Sabtu gue sudah menata rak untuk menyisakan ruang bagi buku-buku yang akan gue beli nantinya.

I contemplated about whether I had to wait for Phillip to pick me up, or that I'd better go on my own and meet him there. Brian's voice from yesterday kept me from going, but the voice inside me kept on pushing me to go without Phillip.

Gue kemudian memanggil taxi di depan gerbang tanpa berpikir lebih lama. I didn't know why I did what I did but it was mostly my feet moving on their own, if not commanded by my subconscious mind.

I texted Phillip that he could just see me in the bookshop right away, and that I suddenly craved for some McD nearby so I had to go first.

There was nothing wrong with being picked up by a friend who clearly expected something more from you, and as Brian had already said, we were both single so, why not give it a shot?

Right?

Unless... what he said about me having someone else in mind was also true. I hoped the suspicion I saw in his eyes yesterday was just an illusion.

Phillip menelpon gue saat itu.

"Hi, sorry dadakan. Gue tiba-tiba pengen makan dulu, heheh nggak papa kan?" gue beralasan sebelum dia mengucapkan apapun.

"Kan bisa bilang biar gue anter? Tinggal ngomong aja berangkat lebih awal, orang gue udah siap juga." katanya di seberang telepon.

"Iya gue nggak enak kan janjian jam 11-an masa gue majuin sejam. Nanti gue tunggu di lobby deket escalator ya."

"Fine. See you in a bit, Ra." gue bisa mendengarnya tersenyum.

Akhirnya gue beneran beli es krim pagi-pagi demi menutupi alasan gue biar masuk akal. Gue sengaja memakannya pelan-pelan sampai Phillip datang dan melihat sendiri bahwa gue memang abis dari McD.

Dia datang dengan kaus hitam berbalut kemeja flannel dan celana jeans, terlihat jauh lebih santai dari gayanya di kampus yang hampir selalu memakai kemeja rapi.

He looked so good. He never looked bad or messy, come to think of it. I also thought he kinda had one of the best looks among us. Even the thought of it made me smile. (Brian was overwhelmingly good looking and he knew it so it sort of made me sick already).

Senyumnya mengembang saat gue melambaikan tangan ke arahnya. This guy and his sincere smile. He always looked so naive, quiet, and innocent, that every time Brian tried to recruit him into joining his band (after knowing that he could play piano) I stopped him because I was scared Phillip would have a hard time near a social butterfly like him and Jevan.

Kami berjalan beriringan dan gue sengaja membuang tissue bekas pegangan ice cone saat Phillip sudah mendekat.

"Mau nyari buku apa?" tanyanya saat escalator membawa kami naik ke lantai dua, tempat buku-buku terpajang.

"Mau beli bukunya Dee Lestari, seriesnya Supernova gue belum sempat baca sama sekali sampe udah buku ketiga. But I'm not sure if they still have it, kalo best seller gitu mana mungkin nyisa."

"Semoga masih ada. Kalo selain itu?"

"Nggak tau, liat aja nanti lah, selama ada yang menarik."

Phillip membalas gue dengan senyuman.

Section pertama yang gue tuju tentu saja novel sastra dan best sellers. Hampir setengah jam mengubek-ubek rak display gue nggak menemukan apa yang gue cari.

"Nggak ada juga di sebelah situ. You couldn't find any?" Phillip yang mengikuti gue dan turut membantu sama-sama gagalnya. Gue menggeleng kesal dan dia menahan tawanya.

Our DaysWhere stories live. Discover now