14. Man in a Movie

49 8 0
                                    

[Bima]

Mid-term exam yang kebanyakan melibatkan ujian sit-in mengurangi kesibukan kami kerja kelompok semester ini. Nggak banyaknya makalah membuat waktu belajar untuk ulangan jadi semakin banyak dan tentu saja, membuat Dira dan Brian makin getol berlomba-lomba mendapat A+ di setiap kuis. Suatu hari Dira pulang dengan wajah ditekuk dan sama sekali nggak menggubris obrolan gue di motor saat gue boncengin pulang hanya karena dia dapat A tanpa plus, kalah dua nomor dengan Brian.

"I should've known! Gue ngerasa jawabannya c tapi gara-gara nggak pede malah gue jawab b!" dia baru angkat bicara saat gue menurunkannya di depan gerbang kostnya dan mencopot helm.

Gue yang selalu puas asalkan nilai gue nggak C- cuma bisa mengelus dada.

Kami berkumpul di kantin berlima (bareng Dira, Tya, Jevan dan Phil) sambil makan siomay dan batagor, mendiskusikan pentas seni dies natalis universitas yang akhirnya mengundang The Mess—band kami, berkat keahlian Jevan melobby. Posisi gue yang selama ini main musik setengah-setengah doang akhirnya menjadikan gue sebagai vokalis sementara Jevan, Brian, dan Phillip—yang direkrut dua bulan lalu bernyanyi sambil memegang instrumen masing-masing.

Brian datang menyusul beberapa menit kemudian dengan seorang mahasiswi yang menggandeng lengannya. Mereka berpisah setelah bertukar pandangan saling menggoda dan Brian membisikkan sesuatu. Si cewek mengangguk lalu pergi menjauh, masih tersenyum.

"Anak mana? Nggak pernah ngeliat kayaknya." gue masih memperhatikan si cewek yang berjalan keluar kantin.

"Sospol. Dikenalin Rendy." dia duduk di antara kami dan menyendok siomay Jevan. "If you want her, take her. Our business is done." katanya ke gue. Gue cuma mendesis.

"So, ini bakal jadi stage terbesar kalian ya?" tanya Tya mengembalikan topik bahasan ke jalan yang lurus.

"Iya lah! Biasanya kan manggung acara fakultas doang. Ini se-uni, dan mereka ngundang banyak perwakilan kampus lain juga." jawab Jevan semangat.

"Akan menjadi ladang gandum bagi coklat yang ditumpahkan kak Brian nih. Makin renyah kayak coco crunch ya, Bri, pasaran lu." sindir Indira, yang diikuti oleh tawa Tya yang mengejek.

"Wah lu nggak tau sih Phillip gimana kalo megang synth. He's gonna press that button of y- aaah!" ucapan Brian terhenti saat Indira mencubit punggung tangannya hingga merah. "Abusive!"

"Porno!" balas Dira

"Gue mau ngomong the button of your heart!" kilah Brian lagi.

"Mau nampilin apa aja?" tanya Tya, lagi-lagi meluruskan topik yang melenceng.

"Metallica, most probably Sad but True, kita latihan banyak banget paling ntar tinggal pilih aja 4-5 lagu, selipin yang slow sama yang rock." jawab gue mengingat-ingat.

"All Metallica?" kata Dira.

"Stop, Bim. No spoilers. Even our own circle's gotta be surprised." Jevan menghentikan gue.

Phillip yang sedari tadi cuma menyimak tanpa suara terlihat hendak mengatakan sesuatu tapi dengan bibirnya yang membuka dan menutup.

"Lu mau ngomong apa sih, kayak ikan kurang air gitu?" tegur gue. Dia terkejut karena nggak nyangka dari tadi gue memperhatikan gerak geriknya.

"Jev, tau Tatiana kan?" ucapnya pada akhirnya.

"Uh-huh. Ana, kan? Anak dance?" Jevan menyahut.

Studio kami di unit kegiatan mahasiswa yang terpusat di satu bangunan besar membuat kami berbagi dengan banyak club lain. Pecinta alam menempati sebagian besar porsi halaman belakang karena mereka banyak melibatkan alat, dance club di ruangan sebelah, musik tradisional di bawah, dan beberapa klub martial arts tersebar di lantai yang berbeda-beda. Klub yang agak serius seperti debat, jurnalistik, dan karya ilmiah menguasai lantai paling atas supaya tidak terganggu dan memilih jadwal berkumpul di hari aktif.

Our DaysWhere stories live. Discover now