12. I Wait

46 8 2
                                    

Apartment Phillip, Minggu malam.

[Brian]

Indira dan Tya sudah berada di dalam dan asik mengobrol di depan televisi yang menayangkan sinetron laga saat gue, Jevan, dan Bima datang. Mereka bercengkrama sementara TV-nya menyala sendirian. Phillip yang membukakan kami akses masuk, menghilang sejurus kemudian, sepertinya masuk ke salah satu kamar karena tidak terlihat di sana maupun di dapur bernuansa serba putih dan rapi di belakang ruang TV.

"Udah rukun nih?" goda gue ke Tya dan Dira.

"Yang dimusuhin Indira kan lo, Bri. Bukan gue." sahut Tya, membuat gue merasa tertohok.

"You both are lunatic. Makanya cocok." balas gue lagi.

"Pil? Kok tamunya ditelantarin gini, Pil?" panggil Bima.

"Pal, Pil, Pal, Pil. Lu kata Upil!" Indira menanggapi. Dia mengangkat bantal di sampingnya agar Bima bisa duduk.

Jevan mengistirahatkan kakinya yang jenjang dengan ngelesot di karpet, bukannya duduk di sofa.

"Come to think of it Pil sounds more comfy to pronounce." lanjut Bima dengan ide namanya yang baru.

"Terserah deh mana yang enak." Phillip menyahut sambil membawa sekotak game dari kamarnya.

Kami berlima bersorak kegirangan ketika tau bahwa yang dibawa Upil adalah sekotak Uno Jenga dan kartunya.

"Do you wanna play with blocks or cards?" tanya Upil.

"Blocks!"

"Cards!"

Kami menyahut bersamaan, terbagi menjadi dua kubu.

"I'm no good with cards, gue agak unlucky gitu kalo card game." keluh Indira.

"Your loss. We have to play both." gue mulai mengeluarkan kartu dari box-nya.

"Karena harus keduanya, berarti hompimpa dong, yang menang dimainin dulu." Jevan menengahi.

"Nah gitu kan adil!" Dira menjulurkan lidahnya untuk mengolok gue.

Hasil hompimpa mengharuskan kami bermain jenga terlebih dahulu. Tim Dira, Jevan dan Upil yang jelas memiliki jari yang ramping dengan lihai mengeluarkan block demi block kayu sementara tim gue nyaris merobohkannya berkali-kali karena jari gue yang gendut-gendut.

Phillip mengeluarkan beberapa snacks dan karton jus jeruk, serta sebotol besar air dingin.

"You don't have any real drinks or something, Pil?" gue bertanya, yang langsung disambut lirikan mata Indira yang sinis. "I'm not getting drunk! Just trying to relax a little!"

Phillip kembali dengan beberapa kaleng bir yang langsung gue dan Bima sambut dengan sumringah.

"I thought you don't drink?!" kata Indira ke Phillip yang tersentak kaget.

"I never said that.." jawabnya kebingungan.

"I don't drink that much, Ra. You're scolding the wrong person." Jevan menyahut.

"Oh.. Oh, right. Sorry."

Permainan berlanjut dengan tim Dira yang masih memimpin sementara tim gue sudah menjatuhkan susunan balok dua kali.

Tya terbahak-bahak setiap gue mengeluarkan jari telunjuk untuk mendorong balok kayu yang ada di tengah, karena katanya dia nggak bisa bedain mana telunjuk mana jempol gue. She was the only fighter because Bima was too clumsy even though his fingers were all okay.

Satu jam lebih bermain tim gue kalah telak dengan skor 1-5 itu pun gara-gara Jevan bersin dan nggak sengaja menyenggol Phillip yang sedang berhati-hati menggeser balok ("I'm allergic to pollen! are there any living flowers around?!").

Our DaysWhere stories live. Discover now