16. Better Better

87 9 3
                                    

[Dira]

"...nggak tau diri! mau kamu apa?!"

Bu.. Dira nggak bermaksud. Tapi–

"Bapak bayar sekolah kamu mahal! Tiap hari kamu malah party nggak jelas!"

Nggak, bu.. nggak tiap hari, Dira belajar kok, nilai Dira bagus, bu..

"Keluar aja kamu dari KK!"

"Coret aja, bu, namanya dari KK!"

Ibuuuuk!

"..ibuu–" gue hampir tersedak saat terbangun dengan pandangan yang masih samar dan hampir menangis. Kepala gue berdengung dan terasa seperti habis terbentur berkali-kali.

Freaking nightmare.

Gue menyambar air di meja sambil terduduk dan memegangi kepala yang berdentum. Air membasahi kerongkongan gue yang panas seperti oasis di padang gurun. Mungkin ini rasanya musafir yang mau mati kehausan, pikir gue.

Sialnya, air yang melegakan kerongkongan tadi justru membangunkan isi perut gue yang berontak. Gue menyingkap selimut dan berlari ke pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan memuntahkan semuanya.

Fuck. What the heck was all this dipshit?

Dengan sempoyongan gue menegakkan kaki untuk mencuci muka dan berkumur. Saat gue melihat muka yang berantakan di depan cermin dengan balutan gaun yang sama dari semalam, di situ lah gue menyadari sesuatu.

It wasn't my bathroom. It. Was. Not. My. Bathroom. F U C K.

I closed my eyes and forced myself to think. C'mon, Dira, think! Think harder!

Hampir sepuluh menit rasanya gue berdiri di depan wastafel dengan tangan gemetar karena gue belum menemukan jawaban di mana gue berada. I knew it wasn't Phillip's place either.

The bathroom was clean. There were two towels, all grey. Everything was neat and tidy. There wasn't any clothes hanging around for me to guess.

Dengan langkah berat dan hati yang nggak berhenti berdoa gue keluar kamar mandi dan memandang seluruh kamar pelan-pelan, sembari mengatur napas.

Kamar bernuansa putih abu-abu yang luas ini memiliki satu kamar mandi dalam, sebuah tempat tidur besar, TV, lemari di dekat jendela, dan... sofa.

Mata gue menangkap sosok seseorang yang sedang tidur di sofa seberang kasur itu. Tubuhnya terbalut selimut dari atas ke bawah, bahkan menutupi bagian atas kepalanya.

Gue kembali ke tempat tidur dan melihat sebuah post-it note berwarna kuning yang menempel di lampu meja, di dekat gelas dan sebungkus obat.

"for your headache, :)x"

Teringat kembali akan kepala gue yang masih berdenyut kencang, gue meminum aspirin itu dan menenggak habis sisa air di gelas.

Gue mengumpulkan niat untuk membuka selimut di sofa, mengobati rasa penasaran gue.

But what if he was naked?!

Gue mengurungkan niat. Saat gue kembali bersandar ke headboard tempat tidur, di situ lah gue melihat jas hitam yang tergantung di hanger pakaian di pintu lemari, dan sebuah gitar yang separuh badannya mengintip dari balik sofa.

No. No, no, no, no! Please not him, please, God let it be NOT HIM.

Alarm hape di dekat meja TV berdering nyaring, dan kepala Jevan menyembul dari balik selimut dengan matanya yang masih setengah terpejam dan rambutnya yang awut-awutan. Badannya keluar dari selimut, menunjukkan kaki panjangnya ditekuk semalaman.

Our DaysWhere stories live. Discover now