2. Whatever

76 13 2
                                    

[BRIAN]

She shook my hand half-heartedly.

"Soooo.. how should I call your name? In..di?"

"Whatever." jawabnya cuek.

Senior kami kemudian memerintahkan setiap grup untuk berkumpul melingkar dan menyelesaikan game. Kami diberikan beberapa kotak korek api batang dan diperintahkan menyusunnya setinggi mungkin. Grup yang berhasil menjadi yang paling tinggi dalam waktu tercepat akan diperbolehkan istirahat sementara yang lain akan dikenai hukuman sebelum melanjutkan permainan lain.

Berkat salah satu anggota kelompok kami yang jenius, kelompok gue menang tipis dengan selisih hanya 5 milimeter dari kelompok lain. Kami pun bersorak dan langsung menghambur pergi dari lapangan.

ES! I NEED ESSS!

Jiwa gue berteriak penuh kemenangan sambil berlari menuju kantin fakultas.

Setelah mengambil sebotol sprite gue duduk di depan salah satu kedai, mengikuti Indira dengan sebotol frestea di tangannya.

"Ngapain?" tanyanya.

"Nggak boleh? Kan tempat umum?"

She just rolled her eyes.

"Gue belum punya temen lagi. You're my first friend." lanjut gue lagi, masih berusaha memenangkan hatinya.

"It's not gonna be hard for someone like you, to make friends."

"Someone like me, huh? What kind of person am I?" tanya gue.

"Why do you ask me?"

"Because you seem to know me better than I do."

"Well, you send signals, don't you? Easy for people to catch."

I scoffed. "Do I really look that easy?"

"Well.." she seemed to be thinking about the right diction. "Positive easy..? You know, easy going. Itu maksud gue tadi. Gue... nggak segampang itu nyari temen." jawabnya.

"Ah.. okay. Gue kira lu nuduh gue gampangan."

"Doesn't mean it's not true."

Geez.. She really doesn't filter her speech!

Suara derap langkah cepat menyita perhatian kami berdua. Beberapa senior kami terlihat berjalan terburu-buru ke arah lapangan. Mereka terlihat berbicara serius. Gue, Indira, dan beberapa mahasiswa lain di kantin berusaha mendengar obrolan mereka.

"...pingsan?"

"Iya udah dibawa tim medis sih. Nggak kuat panas kayaknya, mimisan."

"yang pake tindik di kuping sama hidung kan?"

"SHIT!" Indira berdiri dari kursinya sampai botol frestea di mejanya hampir terjatuh. Dia berlari mengikuti langkah para senior tadi.

Gue mengembalikan botol-botol kami dan bergegas menyusul langkahnya.

Di ruang medis Indira membelah kerumunan dan menemukan seorang laki-laki terbaring di sana. Hidungnya yang bertindik kini disumbat dengan tisu dan dia sedang tidak sadarkan diri. Sekantung es batu diletakkan di ubun-ubunnya.

"Bimaaaa! Yaampun, belum juga setengah hari!" teriak Indira di sampingnya.

"Ini kasih minyak kayu putih biar sadar.." salah satu tim medis menyodorkan botol hijau cap gajah ke tangan Indira.

"Jangan kak, dia nggak suka nanti malah muntah. Bisa... minta tolong indomie atau bakso nggak?" Indira bertanya.

"Hah?" beberapa suara menyahut bersamaan.

Our DaysWhere stories live. Discover now