Benar. 2

3 1 0
                                    

...

Radit Burq is calling..

"Le, temani aku cari makan, kita ke mall dekat rumahmu saja, boleh?"

Radit langsung berbicara sebelum aku sempat mengucapkan halo. "Ya, sekarang?"

"Aku sudah di perjalanan, kamu bisa berangkat sekarang."

"Baiklah."

Sambungan terputus begitu saja. Kebetulan aku juga berniat keluar rumah untuk sekadar makan malam sambil mengejar deadline seperti biasanya. Tapi karena ini Radit yang memintaku untuk datang, kupikir akan sangat tidak sopan jika aku mendiamkannya. Apalagi yang kami kunjungi adalah mall. Kuputuskan untuk membawa waist bagku yang lama tidak kusentuh dan memasukkan ponsel juga dompet ke dalamnya.

Tubuhku terbalut t-shirt hitam santai dan celana standart berwarna hijau army. Roda dua menemani perjalananku hari ini, suasana jalanan padat merayap karena ini masih jam tujuh sore, orang-orang mulai keluar dari persinggahan untuk menikmati malamnya ibukota.

Hanya butuh waktu tidak lebih dari lima belas menit aku sampai di parkir mall yang Radit maksud. Sengaja tetap di atas motor dan dengan helmet masih terpasang, aku mengeluarkan ponsel lalu melihat notif, Radit tidak mengirimiku pesan dimana kami akan bertemu. Jariku mengetik sederet kata-kata di sana, "Yo!"

Sebuah motor terparkir dan mati mesinnya saat berhasil mengagetkanku, sedikit. Itu Radit, kupikir dia pakai mobil karena tadi sempat meneleponku, ternyata kami bertemu di sini. "Aku makan di Carl's Jr. kamu boleh ikut kalau mau," Radit berjalan mendahului.

Yang pasti aku menyusul langkah santainya, "Dan kamu kira aku tidak mau? Lalu apa gunanya kamu minta aku datang? Huh!" Aku mendengus keras di akhir kalimat.

Kami masuk dari pintu dua, lain pintu utama di bagian depan. Pintu yang ini ada di samping kanan mall berhadapan langsung dengan area parkir. Radit berjalan dua meter di depanku, aku paham saja bagaimana pikiran orang-orang yang sudah curi-curi lirik saat aku adu mulut dengan Radit. Mungkin mereka kira kami ini pasangan gay. Ralat, pasti mereka berpikir seperti itu.

Sebenarnya aku masa bodoh saja, tapi Radit terkadang lepas kendali. Maksudku, sudah tahu keadaan mendukung, dia malah "Kamu makan apa?" nah, yang seperti itu sambil menyejajarkan langkahnya denganku.

Kuulangi, aku tidak masalah dengan pandangan orang. Tapi bukan seperti ini cara mainnya, "Kamu tahu, Dit. Orang-orang melihat kita dengan mata menyipit," ucapku agak berbisik.

Kulirik Radit yang mengayunkan kedua tangannya ke depan belakang bersamaan. Bersenandung seperti anak kecil, sambil tersenyum dengan gigi yang disembunyikan. Aku tidak paham dengan jalan pikirannya malam ini, apa dia sudah gila dalam hitungan jam? Seingatku, waktu sore hari kutinggalkan dia masih baik-baik saja.

Setelah berjalan cukup jauh-karena mall yang luas- Radit berbelok masuk ke coffe shop tanpa ba-bi-bu. Aku hanya mengekor di belakangnya. Tampak Radit yang sudah memesan ke barista, secara khusus. Hati kecilku berteriak minta membeli satu gelas kopi juga, tapi otakku menolak karena harganya cukup mahal untuk segelas kopi.

Radit berbalik badan dan menggerakan kepalanya ke kanan kiri mencari keberadaanku, matanya menemukanku. Alisnya terangkat sebelah dengan tangan yang menggoyangkan kopi di tangannya, wajahnya berkata kamu tidak pesan. Aku hanya mengangkat tanganku dan menunjukkan telapak ke arah Radit, tidak.

Raut muka Radit berubah jadi datar, dia berbalik menghadap barista lagi dan duduk di kursi bar. Beberapa menit kemudian barista kembali dengan segelas kopi yang baru saja diraciknya, memanggil Radit dan kopi berpindah tangan.

"Nah," dia berucap sambil menjulurkan kopi yang baru saja jadi. Asapnya mengepul, walau gelas yang kugenggam sekarang hanya terasa hangat.

"Kamu terlihat sangat ingin tapi tak mampu, Le." Radit berucap seperti itu dengan muka yang diset menjadi sedih dan tangan kanannya menepuk-nepuk pundakku.

"Kamu tahu, jatah bulan sekarang menipis gara-gara motorku masuk bengkel," aku mendengus lagi. Sedangkan Radit menampakkan giginya, seperti mengejekku. Aku tahu dia hanya bercanda.

"Kita langsung ke tempat makan saja, kopinya diminum di sana. Jadi tidak perlu pesan minuman lagi," setelah berucap demikian Radit beranjak dan memberi salam singkat pada barista.

Kami menyusuri mall yang cukup ramai menuju ke lantai tiga pusat kedai makanan. Tempat makan tujuan kami terlihat lengang walau ada beberapa yang sedang bersantap ria. Kedatangan kami disambut hangat oleh lampu yang berpijar kekuningan, suasana riuh redam dengan percakapan pengunjung.

Radit memesan paket Super Star Cheese dan Brownie A La Mode, sedangkan aku "Pesan saja, aku yang traktir," katanya. Aku menunjukkan wajah tak percaya, tapi tetap memesan menu yang mahal, "Satu paket Double Western Beefbac dan, uhmm.." aku berpikir sejenak.

"Tambah Brownie A La Mode," putusku kemudian. Kami selesai dengan pesanan dengan cepat. Ada beberapa tempat kosong dan pilihan kami jatuh pada tempat paling dekat dengan pintu.

Suasana masih dominan riuh, aku dan Radit makan dalam diam. "Halo, Ma?"

"Ya, Ma. Besok aku absen dulu,"

"Ma. Tunggu. Apa aku boleh bertanya?" kalimatnya terburu, tangannya mengenggam di atas meja. Aktivitas makanku juga berhenti untuk sejenak.

"Besok tujuan kita kemana? Maksudku, daerahnya? Kata Mama dekat, ya?" Radit menatapku dengan wajah yang khawatir. Aku tahu, dia sedang menyelidiki kebenaran dengan tersembunyi.

"Ah!" bahunya yang tadi terangkat kini sudah luruh dengan napas yang terhela. "Tidak Ma, aku hanya penasaran. Ya, Ma. Sampai jumpa besok." Sambungan terputus, Radit menatap layar ponsel yang sudah menghitam dan beberapa detik kemudian ganti melihatku.

"Kamu tahu, Le? Kenapa aku mengajakmu kemari?"

Aku menggeleng, kembali dengan makanan yang sempat kuanggurkan. "Aku berpikir bagaimana saja jika besok tujuan kami adalah rumah Kyra. Pikirku, jika saja benar tujuan kami kesana maka secara langsung itu adalah usaha papa juga dan, dan papa melakukan bisnis yang seperti itu. Aku tahu, aku terlalu banyak berpikir dan khawatir, tapi kurasa itu tidak salah." Radit menyeruput colanya.

"Lalu?" tanyaku masih dengan mulut yang menguyah. Tuhan maafkan aku yang makan sambil berbicara.

"Dan aku lega, ternyata yang kami tuju besok jauh dari rumah Kyra. Besok kami ke puncak. Begitu saja, kurasa tidurku malam ini nyenyak." Tampak senyum terbit di bibirnya yang tengah penuh dengan makanan.

"Kenapa tidak sekalian menanyakan tentang nama orang tuamu yang sama? Bukankah kamu lebih penasaran tentang itu?" Radit tak segera menjawab, dia sibuk mengunyah lalu menelan makanannya.

"Menurutku tidak sopan saja menanyakan hal seperti itu lewat telepon. Rencananya besok aku akan tanya saat di perjalanan saja," kalimat Radit selesai bersamaan dengan tegukan cola terakhirku. Aktivitas makan sudah selesai, aku tidak ingin bertanya apapun lagi dan sepertinya Radit sudah selesai dengan masalahnya.

Kami memutuskan untuk pulang, aku tidak ada ideuntuk menghabiskan waktu di mall sekarangini. Sedangkan Radit harus segera pulang karena besok orangtuanya akanmenjemputnya pagi but

D' Eccentric Destiny (Pura-pura Bukan Manusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang