Temu.2

28 2 0
                                    

Jam menunjukkan belum lengkap pukul sepuluh, aku memutuskan ke kantin fakultas untuk makan dan membaca ulang materi kuis nanti.

Drrtt.. Drrtt..

Radit buriq is calling..

"Halo?"

"..."

"Di kantin fakultas, kenapa?"

"..."

"Ha?"

"..."

"Sudah hubungi dosennya?"

"..."

"Ok, nanti aku kesana."

Sambungan diakhiri sepihak. Radit bilang dia akan kuis susulan karena harus menemani kekasihnya yang pingsan dan masuk rumah sakit dan yang membuatku hampir menganga adalah Radit beralasan kalau dirinya sedang demam di rumah sendirian. Dasar budak cinta.

Sudah hampir waktunya masuk kelas saat aku selesai makan dan menutup bukuku. Kulangkahkan kaki menuju lantai tiga sambil sedikit berlari kecil, semoga lari kecil tidak membuat ilmu yang baru saja kuserap rontok satu persatu. Kuputuskan untuk langsung masuk ruang kelas karena kurang lima menit lagi kuis dimulai walaupun masih ada beberapa mahasiswa angkatanku yang masih di luar ruangan. Suasananya sunyi, tidak ada bunyi kipas angin seperti helikopter sedang terbang karena kampus ini menggunakan pendingin ruangan. Hanya tersisa empat tempat duduk dan posisinya paling depan, itu sudah pasti 'kan? Pilihanku jatuh pada satu tempat paling dekat dengan dinding kemudian mengeluarkan laptop untuk kuis hari ini. Baiklah, dosen yang ada di depan mengenalku karena aku adalah asistennya. Beliau Pak Dolan, lelaki berumur setengah abad lebih sewindu itu sedang menatapku, aku takut menatapnya balik.

"Leo, tugas kelas tadi sudah dikumpulkan?," pandanganku seketika menatap Pak Dolan lalu mengangguk pelan. Bagaimana bisa aku lupa memberikan kumpulan tugas ke Pak Dolan? Semoga saja aku tidak dipecat.

"Silakan Pak," aku menyodorkan tumpukan kertas itu, kemudian menjelaskan nama-nama yang mengulang. "Terimakasih, kamu boleh duduk," aku berbalik setelah mengangguk patuh bersamaan dengan dimulainya kuis siang ini.

Satu jam penuh kami lewati dengan mata menatap monitor dan kepala berpikir keras. Sebenarnya aku sudah selesai sepuluh menit lebih awal dari waktu satu jam yang diberikan. "Leo, Radit tidak hadir, ya? Tolong diinformasikan, selambat-lambatnya saya tunggu dipertemuan selanjutanya."

"Ya, Pak," kemudian beliau berpamitan kepada seisi ruangan. Jika dilihat dengan imajinasi yang tinggi, mungkin di kepala mereka ada asap yang mengepul hitam. Semua mahasiswa yang semula duduk sekarang berhambur untuk keluar ruangan, aku pun ikut beranjak. Tersisa satu mata kuliah untuk hari ini dan dimulai sepuluh menit lagi. Kubuka grup chat kelas selanjutnya, oh tidak! kuis lagi.

Aku mengirim pesan lebih dulu ke Radit tentang pesan Pak Dolan tadi sebelum lupa akibat kuis dadakan. Dit, ditunggu Pak Dolan susulan sampai pertemuan selanjutnya, itu berarti besok. Send. Ya, pertemuan selanjutnya dengan Pak Dolan adalah besok karena ada laporan praktikum yang harus dikumpulkan. Semoga Radit kuat menghadapi cobaan ini.

Kelas sudah ramai saat aku masuk, untungnya dosen belum datang dan masih tersisa satu tempat di belakang. Aku mendaratkan tubuhku di kursi pojokan, aman dan nyaman. Kemudian dosen datang, "Silakan persiapan, kuis hari ini di kertas," aku mengeluarkan alat tulis yang lumayan lengkap, ada bolpoin, pensil, penghapus, penggaris dan beberapa lainnya. Soalpun dibagikan dengan satu lembar jawaban di belakangnya. Ternyata soalnya hanya dua, pertanyaan pertama jawabannya adalah penjelasan dan yang kedua perintah menggambar. Kalau ini soal dua nomor jawaban dua halaman.

Satu jam berlalu dengan kepalaku yang memanas karena beberapa bagian aku lupa bentuknya. Materi itu seminggu lalu dibahas dan ternyata hari ini dapat kuis dadakan. Dosen berpamit setelah mengutus dua mahasiswa mengumpulkan jawaban kami. Untuk dosen yang satu ini pertemuannya seminggu sekali dan jika tertinggal kuis berarti di pertemuan selanjutnya. Radit sangat kasihan.

Mengingat nama Radit aku melangkahkan kaki menuju parkiran fakultas untuk mengunjungi Radit di rumah sakit. Tentu saja karena dia yang minta. Mobilku melaju santai saat berhasil keluar dari gerbang kampus. Butuh sekitar tiga puluh menit untuk sampai di rumah sakit jadi aku tidak perlu buru-buru untuk segera sampai kesana. Untungnya aku bisa memotong kemacetan di tiga perempat jalan.

Ting! Ting!

Radit buriq

Le, aku di lobby

Ketemu di lobby saja

Aku membuka pesan Radit tanpa membalasnya karena sudah berada di lobby rumah sakit. Mataku mencari keberadaan Radit, "Le!" ternyata dia sedang dibagian administrasi. Aku menghampirinya, "Duduk saja dulu, aku tidak lama," ucapnya dan aku menurut mencari tempat duduk untuk dua orang di jajaran kursi tunggu.

"Le, ayo ke kafe waktu itu," Radit sudah selesai dengan urusannya lalu duduk di sampingku.

"Heksa bagaimana?" itu nama kekasihnya.

"Sudah ada orang tuanya, mereka menyuruhku pulang dan istirahat, aku iya iya saja," ia mengendikkan bahu tak acuh.

"Ok, kamu yang menyetir ya," kami beranjak dari duduk.

"Kamu bawa mobil?"

"Ya, tadi hujan waktu berangkat kuliah," Radit hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Hei, kenapa kamu di belakang, memangnya aku supir pribadimu, eh?" omel Radit ketika aku masuk di bangku belakang bukan di sampingnya.

"Biarkan aku tidur, kuis dua kali hari ini terlalu berat untukku," aku mengambil posisi tidur menyamping.

"Eh? Kelas satu lagi kuis juga?" tak heran Radit terkejut. "Hmm," dan aku berhasil terlelap.

"Aduh!" aku terbangun saat merasakan sebuah benda padat jatuh di wajahku, "Sialan kamu, Dit!"

"Keluar, Le. Sudah sampai," aku beranjak dari posisi tidurku dan memungut ponsel Radit yang tadinya mengenai wajahku.

Kami masuk ke kafe disambut senyum hangat waiters dan alunan lagu Malibu Nights dari musisi terkenal luar negeri. Dari luar sudah tercium aroma kopi karena kali ini pintu kafe di buka. Kami memilih minum kopi, katanya kopi olahan sendiri. "Kamu pesan yang mana, Le?" Terlihat berbagai macam jenis kopi tertera di menu, "Yang spesial saja," aku tak tahu banyak tentang kopi. Biasanya hanya kopi kemasan yang kuseduh sendiri.

Radit memesan kopi yang sama denganku. Kami diam tak ada bahan obrolan, Radit sibuk dengan ponselnya. Mataku mengamati ruang temaram, di belakangku ada jendela kaca setinggi orang dewasa yang di bagian luarnya terdapat bunga matahari yang sudah tumbuh besar.

"Silakan," pesanan kami datang lima menit kemudian. Ekor mataku menangkap seorang gadis yang berjalan masuk dari pintu menuju ke lantai atas. Gadis itu turun lagi saat aku mulai menghirup aroma kopi, lalu kembali ke lantai atas tak lama kemudian.

"Dit, kamu tidak sadar?"

"Apa?" dia menanggapi, namun pandangan matanya tertuju ke barista di depan kami. Mereka menyeduh kopi dengan lihai.

"Kamu tidak sadar? Sudah tiga kali Kyra lewat di depan kita," Radit melirikku tak percaya kemudian menggeleng pelan.

"Dimana Kyra? Aku dari tadi memandangi barista dan tak ada seorangpun yang masuk," dia menyangkal.

"Hei, kamu sudah mulai jatuh cinta pada Kyra? Sampai terbayang-bayang Kyra datang," Radit tersenyum menggodaku.

"Sungguh, aku ke atas dulu. Aku yakin, tadi melihat Kyra," aku beranjak dari duduk meninggalkan kopiku yang masih mengepul. Radit mengangguk sambil tersenyum menggoda.

Kakiku menaiki anak tangga satu persatu. Pintu ruang atas terbuka, pasti sudah ada yang datang lebih awal. Aku masuk dan mencari keberadaan Kyra. Benar saja, gadis itu sedang duduk di tempat pertama kali aku datang kesini. Kyra sedang diam menatap jalanan yang ramai. 

D' Eccentric Destiny (Pura-pura Bukan Manusia)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ