Dia dan Kami.1

44 4 0
                                    

Minggu pagi pukul tujuh, sangat ramai untuk ukuran hari libur. Bisingnya kota kususuri pinggirannya. Tadi pagi tiba-tiba Radit menelponku, dia bilang minta jemput, kami pakai motorku. Lalu aku berangkat, memang mungkin motorku tak mau ditumpangi Radit, roda dua itu mogok. Sial, padahal asupan sudah dipenuhi, mandi juga sudah. Untungnya dia merajuk tepat di depan bengkel motor. Sayonara! Motorku, majikanmu rupanya harus meninggalkanmu. Alhasil, aku mengendarai kakiku sendiri menuju rumah Radit. Radit memang sudah gila, tidak mau menjemputku. Dia bilang aku harus berangkat pakai kaki, bodohnya aku menurut. Lihat, aku seperti orang susah sekarang.

Ternyata dia masih punya hati. Dia sudah menunggu di depan gerbang komplek mewahnya. Ah, itu aset keluarganya, di kampung dia keluarganya paling tajir. "Kenapa motormu? Kurang kasih sayang?" tanyanya saat memberi helmet padaku.

"Motorku tidak mau terkena kulitmu, sudahlah."

"Sial, jalan saja kamu," wajahnya kesal, masih pagi sudah emosi.

"Ya sudah, aku pulang. Bye, Dit," aku beranjak tapi helmet masih kupakai. Bodoh untuk kesekian kali. Tapi sudah terlanjur, malu kalau harus balik badan melepaskannya.

"Hei, hei. Kamu seperti gadis saja, Le," aku tak menjawab. Terus berjalan ke arah kemacetan panjang. "Hei, apa namamu sudah berubah menjadi Lea? Kamu Milea sekarang?"

Dasar Radit bodoh dan aku ini receh sekali. Sekarang aku yang berada di bahu jalan jadi tontonan orang yang lewat akibat tawaku yang menggelegar. Radit dengan motornya maju agar sejajar denganku. "Kalau kamu pulanng, lepaskan helmetku dulu, Milea," ucapnya dengan nada diDilan-Dilankan. Aku malas membalas, langsung saja naik diboncengan dan kurasa itu cukup menjawab perkataan Radit. Lalu motor melaju masuk kemacetan.

Satu setengah jam kami habiskan untuk berpartisipasi dalam kemacetan. "Tak habis pikir, bagaimana bisa cewek itu datang ke kampus dengan kemacetan parah," ucapku heran setelah turun dari motor.

"Mungkin dia tahu jalan tikus di sini. Sebenarnya aku juga tahu, tapi barisan mobil itu terlalu menggoda," dia turun dan melepas helmetnya. "Apa katamu?"

Radit tak menjawab, matanya memandang apa yang ada di depannya. "Coba lihat lagi alamatnya," pintanya padaku.

"Benar, lihat sendiri. nomor lima puluh enam jalan Soedirman," ia melihat sebentar layar ponselku. Sejurus kemudian Radit berkacak pinggang lalu menarik napas panjang dan membuangnya. "Kita balik aja," ucapnya singkat.

"Ha? Kamu sudah memaksaku untuk datang, kemudian tidak menjemputku saat motorku mogok dan melewati berjam-jam kemacetan saat harusnya kita bisa lebih cepat dari itu. sekarang kamu bilang pulang?" kulihat ia menghela napas lagi.

"Lihat, Le. Rumah ini, gerbangnya saja setinggi Gunung Fuji. Belum lagi nanti rumahnya bisa sebesar kapal Titanic atau bahkan halamannya seluas samudera, bagaimana kita bisa masuk? Aku tak punya nyali kalau kamu mau, kamu boleh masuk sendiri. Aku pulang," matanya menerawang.

"Imajinasimu bodoh, Dit."

"Sudahlah, ayo ikut aku saja. Kita temui dia di kampus saja ya," Radit kembali menaiki motornya dan aku ikut saja. "Kita ambil jalan tikus saja."

Motor melaju tak cukup kencang karena kami melewati jalanan desa yang padat penduduk. Ada saja orang yang lalu lalang entah sendiri atau bersama-sama. Aku tidak tahu kemana tujuan mereka. Bahkan ada wanita yang terlihat pucat sedang berjalan lawan arah denganku.

Kami sampai di sebuah kafe kecil yang awalnya kukira toko kaset. Tak jauh dari rumah penduduk, mungkin pemiliknya adalah satu penghuni rumah-rumah berdempetan. Aku tidak salah jika menganggap bangunan ini adalah toko kaset. Lihat saja interiornya penuh dengan kaset pita jadul yang disusun seadanya dan berbagai hiasa dengan nuansa musik.

Terdengar lagu nostalgia saat kami masuk. Di sebelah kanan pintu aku menemui semacam bar dan dua orang waiters. Ada yang sedang menyeduh kopi dan di depan bar tertata beberapa meja dan kursi. Ruangannya temaram, tapi cukup nyaman dengan aroma kopi yang menenangkan. "Kita naik saja, cari udara segar," ucap Radit lalu kami menuju lantai atas. Kupikir mana ada udara segar di ibukota. Tapi ternyata Radit tidak membual, ia membuka pintu kaca, udara segar dan wangi langsung menyerang inderaku.

"Kamu tidak pernah memberitahu tentang tempat ini, Dit," aku kagum melihat apa yang ada di depan kami. Sebut saja kebun bunga. Dinding kaca di tiga sisi dan juga atapnya. "Kananmu tanaman hias kalau sebelah kiri tanaman herbal," dan ada meja panjang dilengkapi beberapa kursi menghadap jalan raya. Kafe ini letaknya di ujung desa dan jalan raya di depanku ini adalah arah menuju jalan protokol. Lumayan, menikmati kemacetan ibukota dengan udara segar.

"Aku tidak melihat tempat ventilasi dimanapun, apa tak buruk jika aku bersantai di sini?" mataku melihat sekeliling, memastikan tempat ini aman.

"Kamu ingat kalau tumbuhan hijau memproduksi oksigen. Udara di sini masih baru, kita yang pertama masuk. Kujamin kita tak akan mati hanya karena bersantai di sini. Lagi pula bukan tidak ada ventilasi. Tapi selama pintu itu terbuka, udaranya akan bersirkulasi," Radit menunjuk pintu dimana kami datang tadi.

"Kamu selalu tampak pintar, lebih dariku."

"Tentu." Ia memasang wajah songongnya. "Kamu pesan apa, Le?"

"Bukankah kafe ini menjual kopi saja?"

"Ada jus kalau mau dan juga teh herbal langsung panen bahan,"

"Teh herbal saja," kemudian kami memesan dua teh herbal seduhan resep sendiri.

Sambil menunggu pesanan, aku mengamati jalanan sambil berpikir apa yang menyebabkan kemacetan. "Oh ya, semalam aku menemukan akun insta Kyra, tidak diprivate. Nih lihat!"

"Ya?" aku melihat Radit yang mengotak-atik ponselnya mencari akun Kyra dikolom pencarian terakhirnya. "Nah!" dia menunjukkan salah satu foto unggahan Kyra. Terlihat seorang wanita yang sedang tersenyum lebar sambil mendekap buku. Radit menarik ponselnya kembali.

"Tunggu-tunggu! Eh? Sepertinya aku pernah lihat," kurebut ponselnya. Aku agak ragu tapi mungkin tak salah.

"Dia gadis pucat yang kulihat di jalan tadi," perlahan ingatanku membenarkan.

"Kamu serius, Le?"

"Ya, kamu tahu ingatanku brilian,"

"Tapi kenapa dia pucat?" tanyanya padaku

"Sakit mungkin, tapi aku tak yakin," aku menjawab sekenanya.

"Nanti kita ke rumahnya lagi, aku khawatir," Radit berujar tanpa pikir panjang.

"Kenapa tidak telepon saja? Mungkin dia mencantumkan nomor atau alamat email di akun instanya,"

"Sebentar," dia mengikuti perkataanku. "Oh ada!" Radit diam sebentar, "Tidak mungkin diangkat, toh kita belum pernah berkenalan, kita balik ke rumahnya ya. Ya?"

Wajahnya memelas, entah apa yang ada dipikirannya tapi yang pasti Radit sangat ingin kembali, terlihat dari wajahnya.

D' Eccentric Destiny (Pura-pura Bukan Manusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang