Dia dan Kami.3

36 4 0
                                    

"Le, Playstation? Kita ke rumahku?" Radit menawarkan main playstation setelah hening yang cukup panjang. "Boleh, tumben tidak sibuk dengan pacar?"

"Doi luar kota, Le. Aku kesepian," kudengar ada nada sedih yang dibuat-buat.

"Terserah kamu saja," sepertinya Radit menganggap aku setuju.

Kami kembali merayapi jalanan yang macet, butuh waktu satu jam untuk sampai di gerbang komplek tempat Radit tinggal. Kami mampir sebentar ke mini market dengan karyawan berseragam biru, merah, kuning untuk membeli beberapa camilan dan minuman soda ukuran besar. Tentu saja Radit yang bayar.

Dan disini lah kami sekarang, di depan rumah megah berlantai dua dengan konsep minimalis cukup besar untuk ditinggali Radit sendirian terkadang bersama asisten rumah tangga yang dibawanya dari desa. Sedangkan aku, aku mengontrak rumah yang sebenarnya milik keluarga Radit juga. Awalnya gratis tapi aku juga punya malu, walau dengan harga rendah aku tetap membayar biaya setidaknya untuk mengganti uang listrik dan air. Hubungan keluarga kami sangat baik, di desa aku anak kepala desa dan Radit dari keluarga kaya raya.

Aku mengekori Radit yang berjalan ke dalam rumah, seperti biasa rumahnya dingin dan sepi. "Di depan aja ya mainnya, aku ambil Playstation dulu di atas," aku mengangguk sebagai jawaban. Kuhempaskan badan di sofa empuk kemudian mengedarkan pandangan, rumah ini tak berubah sama sekali sejak aku berkunjung terakhir kali, lebih tepatnya seminggu lalu. Layar televisi terpampang di depanku dikelilingi sofa berwarna soft gold. Rumahnya selalu bersih dan rapi, "Mas Leo, mau minum apa?" dan masih sama ada Bi Lena yang ramah dan menyenangkan untuk ukuran orang lanjut usia.

"Tidak usah, Bi. Kami sudah beli sebelum kesini," tolakku berusaha sesopan mungkin.

"Oh, iya. Nanti kalau ada perlu panggil saya saja," nada khas keibuannya terdengar lembut.

"Iya, Bi. Terimakasih,"aku menunjukkan senyum terbaikku.

"Sama-sama, saya permisi dulu," Bi Lena kemudian berjalan kembali ke tempat asalnya, dapur.

Radit menuruni anak tangga sambil membawa Playstation, "Bantu pasang, Le," aku beranjak dari duduk santaiku membantu Radit memasang Playstation ke televisi layar lebar. Lalu kami memulai permainan dengan pilihan sepak bola. Tak lupa camilan dan soda yang kami beli, Radit juga memesan pizza online, katanya dia lapar. Dia memesan porsi besar dan aku hanya kebagian sepertiganya. Sesekali kami berhenti untuk mengistirahatkan mata agar tidak kelelahan lalu kembali bermain permainan yang berbeda. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul lima sore ketika pesanan burger online Radit datang, dia memesan tiga porsi jumbo lengkap dengan kentang goreng. Satu porsi untuk Bi Lena yang katanya penggemar berat burger.

"Aku lapar lagi, tapi tidak ada stok mie cup di rumah lupa tadi tidak beli. Ya sudah kita makan ini saja ya?"

"Yang penting uangmu,"

"Kamu berhutang untuk ini," aku yang sedang mengunyah burger tersedak ketika mendengar apa yang kumakan ini dimasukkan hitungan hutang.

"Dasar pelit," Radit hanya tertawa dan mengatakan kalau dirinya bercanda. Katanya lagi dia baru saja menerima uang bulanan saat cek ATM di mini market tadi. Alhasil sore ini kami foya-foya.

"Le, temani aku nonton anime ya! Pulangnya kuantar,"

"Terserah kamu saja," lalu Radit memutar satu anime movie terbaru berjudul Tenki no Ko. Kami memang suka menonton anime terkadang juga bertukar koleksi video. Tapi sekarang sudah jarang karena sibuk dengan tugas kuliah. Kami larut dalam tayangan di depan kami, agaknya takut-takut kalau saja air itu menghampiri kami.

D' Eccentric Destiny (Pura-pura Bukan Manusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang