Pulang.3

47 1 0
                                    

DEG!

Napas Leo tercekat, ini terlalu kebetulan dengan Radit yang sedang tidak hadir, pikirnya. Pak wali kelas menghela napas, "Adik dari Radit Mahesa meninggal dunia hari ini, Bapak minta perwakilan dari kalian untuk ikut bapak takziah ke rumah Radit, dua orang saja cukup," bel berbunyi, Leo mengemasi alat ujiannya dengan cepat dan berlari keluar ruang kelas dengan langkah yang tak sabaran.

Pagi ini adalah pagi yang menyesakkan untuk Radit. Nadin, adiknya telah meninggal dunia di usia muda. Tangis Radit pecah saat mendengar adiknya dinyatakan berpulang. Pikirnya dia bisa menyelamatkan sang adik, namun semuanya terlambat. Tetangga yang memang seorang dokter di puskesmas desanya mengatakan bahwa Nadin kelebihan dosis obat penenang.

Nadin, seorang gadis cantik yang parasnya sebelas dua belas dengan ibunya, dieluh-eluhkan sebagai Sara kecil. Gadis pendiam dan pintar, namun takdirnya tidak sebaik itu. Ia menderita penyakit kejiwaan Pseudobulbar Affect yang merupakan penyakit mental dengan tanda-tanda tertawa atau menangis berlebihan, dengan rentan waktu yang acak atau secara tiba-tiba tanpa ada pemicunya.

Selain itu, penderitanya juga sering kali merasa frustrasi dan marah. Rasa tersebut bisa meledak-ledak, namun hanya berlangsung selama beberapa menit. Berbeda dengan penyakit mental lain, penderita seperti Nadin tidak mengalami penurunan berat badan dan masih bisa beraktivitas layaknya manusia normal.

Leo sampai di rumah Radit tanpa pulang terlebih dulu, sudah ada banyak orang di sana. Termasuk ibu dan ayahnya, Leo mencari keberadaan Radit. "Dia di kamar adiknya," ucap Pono yang paham dengan sorot mata anaknya. Leo bergegas naik ke atas dengan langkah permisi. Pintu kamar Nadin terbuka, ia langsung masuk untuk melihat keadaan. Ada Radit di sana sedang bersimpuh di lantai sambil menangis dan membaca doa. Sedangkan ibunya, duduk diam dengan tatapan menuju Radit.

Leo mengahmpirinya lalu duduk di samping Radit. Radit tersadar dengan kedatangan Leo, "Sudah, Nadin tidak ingin kamu menangis seperti ini, Dit. Tegarlah, dia akan bahagia di sana," ucap Leo sambil mengusap bahu Radit yang kini menatap adiknya yang sudah ditutup kain putih. Henry, ayah Radit datang dengan mata yang sudah berair, ia harusnya masih di luar kota untuk perjalanan bisnis. Namun, berita duka membawanya pulang dengan rasa sesak di dada yang teramat pedih, anak gadisnya meninggal.

"Sudah.. Sudah.. Nadin pasti tidak ingin melihat kalian bersedih seperti ini," Sara menenangkan suaminya yang sudah bersimpuh di sisi lain tempat tidur. Ia tidak mengeluarkan air mata setetespun, terlihat seperti sosok ibu yang sangat tegar. Nadin mulai disucikan karena anggota keluarganya sudah lengkap. Radit tetap diam di tempat, ayah dan ibunya keluar kamar untuk menemui tamu yang bertakziah.

Leo menemani Radit yang sudah kekeringan air mata, napasnya kembali normal. Dia mulai membuka mulut, "Aku menemukannya di kamar mandi dengan keadaan tidak sadarkan diri. Kulitnya membiru, aku panik. Mama tidak ada di meja makan, lalu aku mencari pertolongan di luar, untunglah ada tetangga yang belum berangkat bekerja. Salah satunya dokter puskesmas dan ada ayahmu juga. Dokter itu awalnya mengatakan kalau kulit yang membiru itu akibat kehabisan napas, lalu tangan kanannya lebam menghitam yang ternyata patah tulang. Dokter lalu menanyaiku bagaimana posisi dia saat kutemukan, kujawab Nadin jatuh tersungkur di sebelah kloset. Dokter itu berkata lagi, bisa jadi dia terpeleset dan tangannya menahan agar tubuhnya tidak menyentuh lantai. Tapi tangannya terlalu lemas akibat kelebihan dosis obat penenang. Alhasil dia kehabisan napas di dalam kamar mandi dengan mulut yang mengeluarkan busa dan darah, itu juga akibat dari dosis yang berlebih, padahal semalam aku hanya menyuntikkan dosis normal kepadanya," Radit berpindah posisi menyandarkan punggungnya di tempat tidur.

Leo masih diam, "Semalam, dia menangis sangat keras dan emosinya meluap-luap. Nadin meneriakkan Mama Mama Mama terus kemudian aku memanggil Mama, karena hanya aku dan mama yang ada di rumah. Kami setuju untuk menyuntikkan obat penenang, waktu itu aku menyuntiknya di bagian paha. Nadin berangsur sadar kemudian, ia melihat Mama dan kembali menangis tapi tidak sekencang sebelumnya. Mama mendekap Nadin, kemudian ia berhasil tenang dan terlelap. Mama menyuruhku untuk beristirahat karena besok adalah hari ujianku. Aku menurut, sedangkan Mama menemani Nadin sebentar lagi, katanya."

D' Eccentric Destiny (Pura-pura Bukan Manusia)Where stories live. Discover now