43 // Birthday Party

Start from the beginning
                                    

"Halo Tante," kata Rangga memberi salam hormat.

"Hai cantik." Senggolan dari seseorang membuat Ocha gelagapan.

"Eh, iya, Ga?" kata Ocha tak sadar.

"Ga?" tanya Meyka dan Cara.

"Engh—Kaf. Lo pada salah denger," bela Ocha. "Oh iya, kok lo bisa di sini?" tanya Ocha mengalihkan pembicaraan.

"Emangnya kalau mantan gak boleh diundang?" tanya Kafka tersindir.

Ocha terkekeh. "Baper, deh."

"Awil mana ya?" kata Meyka bermonolog. Matanya berkeliaran mencari Sang kekasih.

"Paling lagi di ajak Pahlevi berburu degem," sahut Cara mengompori.

"Iiihh." Meyka menghentakan kakinya kesal. "Ikut gue cari Awil." Lalu cewek itu menarik paksa tangan Cara.

"Eh, eh ... Ngapain? Gak mau," tolak Cara.

"Cowok lo lagi genit, berarti lo harus ikut gue." Dan Cara pun hanya bisa pasrah mengikuti Meyka.

Tinggalah Ocha dan Kafka berdua. Ocha sesekali melirik keberadaan Rangga yang masih berbincang dengan Gladis dan Ibunya. Gara-gara Kafka tadi, Ocha jadi ketinggalan obrolan mereka.

"Mantan gak usah dilirik-lirik," kata Kafka sinis, lalu cowok bertubuh tinggi itu merangkul pundak Ocha. "Udah ayo kita mojok aja."

Ocha menghembuskan napas kasar, dan terpaksa mengikuti langkah Kafka. Entah kenapa terasa berat meninggalkan Rangga bersama Gladis. Melihat keduanya dekat terasa menyesakkan. Padahal Ocha mati-matian untuk tidak menumbuhkan rasa pada cowok itu lagi. Tapi ternyata hati dan otaknya tidak sejalan.

Ocha dan Kafka duduk di salah satu bangku.

"Pantes lo gak berkoar-koar ngajak gue malmingan," kata Ocha sinis. "Taunya dateng ke sini juga."

"Gue tanya Cara, jadilah gue tau lo ke sini."

Ocha manggut-manggut.

"Cha," panggil Kafka. "Boleh tanya?"

"Apa?"

"Tapi jawab serius ya."

"Serius-serius amat," kata Ocha meledek.

Kafka berdehem singkat. "Lo deket lagi sama dia?"

"Dia siapa?" tanya Ocha pura-pura tidak paham.

Kafka menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Jangan paksa gue sebut namanya."

"Oke, oke. Tapi pertanyaan lo gak penting buat gue jawab."

"Terserah, tapi gue ingetin buat gak usah deket-deket sama dia lagi." Kafka berkata dengan nada dingin.

Ocha bergeming.

"Yaudah, kalau gitu gue sama lo aja gimana?" tanya Ocha mencairkan suasana. "Lo mau 'kan sama gue?" Ocha mengibaskan rambut panjangnya.

Kafka menarik sebelah sudut bibirnya. "Kalau lagi cantik kayak gini sih mau."

Ocha mencibir. "Cantiknya kalau lagi penampilan gini aja?"

"Mau gimana pun tetep cantik."

"Cih, baru nyadar."

Kafka tersenyum geli. "Nasi goreng dua bungkus ya, Cha."

"Harus ada bayaran atas pujian lo barusan, hah?"

"Bercanda, galak bener kayak Ibu kos yang nagih uang tunggakan." Mata Kafka bergerak liar, sebelum melanjutkan bicara. "Cewek SMA Cluster boleh juga. Kayaknya malem ini gue harus dapet satu, deh."

Ocha memutar bola mata malas.

"Mari berburu." Kafka berdiri dari duduknya. "Lo sendiri dulu ya, Cha."

"Sialan! Giliran keadaan gini lo ninggalin gue," cerca Ocha. Matanya semakin melebar saat Kafka benar-benar menjauh. "Kafka nyebelin."

Ocha mendecak kesal karena harus sendiri. Entah di mana keberadaan dua sahabatnya.

Hingga acara tiup lilin dan potong kue pun berlangsung, beberapa yang hadir mendekat. Ocha hanya memperhatikan dari tempat duduknya. Masih ada Rangga di samping Gladis, bahkan cowok itu tak menghiraukan keberadaan Ocha.

Setelah acara tiup lilin dan sesi foto selesai. Ocha tak melihat keberadaan orang tua Gladis. Mungkin sekarang waktu yang dikhususkan untuk anak muda.

Masih banyak yang berkerumun di dekat Gladis. Apa Ocha harus ke sana untuk mencari Meyka dan Cara? Siapa tahu sahabatnya mengikuti Pahlevi yang mengajak Awil berburu cewek.

Ocha menghela napas sejenak. Sekadar mencari sahabatnya, setelah itu Ocha akan kembali menjauh dari keberadaan Rangga yang masih bersama Gladis.

Ocha mendekat ke arah kerumunan. Entah kenapa mendadak menjadi sepi, suara dentuman musik tak lagi terdengar. Ocha mengernyit heran. Ia refleks menghentikan langkahnya.

"Kak Rangga."

Hanya suara itu yang terdengar dari banyaknya orang di pesta ini. Suara Gladis.

Dan fokus Ocha teralih pada Rangga yang terlihat sedikit—gelisah?

"Would you be my boyfriend? I am so in love with you."

Jeritan kaget langsung terdengar karena keberanian Gladis. Dan semuanya langsung berucap kompak.

"Terima! Terima!"

Teriakan itu terus terdengar saat Gladis baru saja mengatakan cinta pada suaminya.

Jangan diterima, Ga.

"Terima! Terima!"

Rangga bergeming, tapi akhirnya cowok itu menganggukkan kepalanya. Membuat sorakan lebih keras kembali terdengar. Terlebih lagi Gladis yang langsung berjingkrak dan memeluk Rangga sebagai gerakan refleks.

Ocha menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jadi benar, ini alasan Rangga memaksanya untuk datang ke ulang tahun Gladis? Menjadi saksi atas jadinya mereka berdua. Dan lagi, perlakuan Rangga kembali menyakitinya.

"Perlu sandaran?"

🐁🐈

Ngegantung kek hubungan sama doi, ehe..

Tebak2an yoo
.

Bekasi, 08Okt20.

Married with Enemy [TERBIT]Where stories live. Discover now