Langkah Laura yang ingin keluar dari sana untuk berbicara pada cewek-cewek itu terhenti ketika hawa dingin menjalar di tengkuknya. Tanpa sadar ia pun menahan napas. Perasaan ini ... ini sama seperti ketika ia menerima bingkisan kemarin. Sebuah hawa mengerikan yang membuat tubuh Laura bergetar dan napasnya terhenti. Kaki Laura mulai lemas, lalu perlahan ia mulai memeluk tubuhnya sendiri.

Dalam diam, Laura mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Entah ini hanya perasaan Laura, atau memang kenyataannya orang-orang yang lewat di sini melempar tatapan sinis padanya. Laura melihat mulut mereka bergerak, tapi tidak ada satu suara pun yang terdengar. Tubuh Laura semakin dingin. Ia tidak bisa terus berada di sini.

Mengumpulkan tenaga yang tersisa, Laura pun kembali ke kelas dengan napas terengah. Sekolah tidak lagi semenyenangkan itu bagi Laura.

***

Setiap hari Sabtu di akhir bulan, keluarga Pramodjo selalu mengadakan pertemuan keluarga di rumah utama, alias rumah keluarga Radit. Kakek Sarwendi Pramodjo memiliki tiga orang anak, yaitu, Mahesa, Anton, dan Desi. Mereka selalu datang bersama keluarga masing-masing, membuat acara kumpul-kumpul biasa ini terlihat seperti pesta kecil. Belum lagi jamuan yang terhidang hampir memenuhi meja panjang di ruang makan ini.

Kakek, sebagai kepala keluarga Pramodjo, duduk di bagian ujung. Om Anton duduk berdampingan dengan Tante Yulia, lalu diikuti dengan Mano dan Dylan. Di seberangnya, ada keluarga Radit yang terdiri dari Radit, ayah, bunda, dan Namira. Keluarga Tante Desi pun duduk bersebelahan dengan suaminya dan Sanna—anak perempuan satu-satunya yang masih berumur enam tahun.

Makanan sudah tersaji lengkap di meja makan. Kali ini menunya adalah nasi kebuli dan makanan khas Timur Tengah lainnya. Sambil menikmati makanan, mereka pun berbincang ringan. Terkadang, candaan dan suara tawa pun menggema di ruang makan ini. Kakek memang selalu berusaha untuk membangun suasana ringan untuk mengakrabkan anggota keluarga Pramodjo.

"Oh iya, Radit, Dylan, gimana rencana studi kalian? Apa kalian udah konsultasi ke sekolah juga?"

"Sejauh ini, Radit masih incar universitas dalam negeri, Kek. Tapi kalau ada kesempatan beasiswa, Radit juga mau coba. Singapura mungkin," jawab Radit lugas.

Meski sekolahnya baru ambil ancang-ancang, Radit sebenarnya sudah mempunyai rencana sendiri. Dari dulu ia tertarik dengan jurusan Hubungan Internasional dan Komunikasi. Namun, akhir-akhir ini juga ia mulai mempertimbangkan jurusan Bisnis karena tertarik ketika melihat Ayah bermain di pasar saham dan berhubungan bisnis di luar negeri. Ditambah lagi banyak sekali poster universitas yang membuka jurusan Bisnis yang ditempel di mading tempat lesnya.

"Di sini juga banyak universitas yang bagus." Kakek mengangguk-angguk. "Asalkan kamu serius jalaninnya, pasti berhasil."

"Iya, Kek."

"Dylan gimana?"

Radit melirik ke arah Dylan. Cowok itu tidak menjawab pertanyaan kakek, tidak juga memakan nasinya. Kebisuan Dylan mengundang tatapan tajam Om Anton. Radit pun mengerutkan dahi melihat tingkah aneh Dylan. Meski sepupunya itu pendiam—dan cenderung cuek—Dylan tidak pernah terlihat bimbang seperti itu. Ia pasti menjawab semua pertanyaan kakek dengan lugas, walaupun nada bicaranya selalu datar.

"Dylan pilih University of Sydney jurusan Bisnis, Yah." Om Anton yang menjawab, mewakili Dylan. Ia terlihat tidak sabar karena Dylan yang terus diam seperti itu.

"Bukan."

Satu kata dari Dylan sukses membuat seluruh perhatian keluarga Pramodjo beralih padanya. Ini adalah hal baru. Biasanya, Dylan selalu menuruti saja apa yang dikatakan Om Anton. Ia tidak pernah berkata "tidak" kepada Om Anton, bahkan sampai kakek terkadang jengkel sendiri dibuatnya. Satu-satunya sikap membangkang Dylan yang pernah Radit saksikan hanyalah ketika ia mencoba untuk tetap berteman dengan Radit. Kali ini, Dylan berhasil membuat kakek mengerutkan dahi dan menaruh perhatian penuh pada ucapannya.

VillainWhere stories live. Discover now