[20] Unfamiliar Heartbeat

Start from the beginning
                                    

"Dylan!"

Beberapa meter sebelum sampai, akhirnya keberadaan Dylan disadari Laura. Ia mengangkat tangan dan tersenyum lebar. Senyum itu sangat kontras dengan bulir-bulir keringat yang muncul di dahinya.

Dylan terdiam beberapa saat, memperhatikan sosok Laura yang semakin jelas di hadapannya. Cewek itu tidak dandan berlebihan, jika dibanding "anak perempuan dari keluarga kaya" yang Dylan kenal. Ia memakai jumpsuit hitam dan kaus putih, serta sepatu kets putih untuk melengkapi penampilannya. Rambutnya yang panjang pun dikuncir ke belakang, menyisakan poni dan anak-anak rambut yang saling menempel karena keringat. Langkah demi langkah yang diambil Laura menciptakan debaran asing di dada Dylan.

"Kenapa kalian nggak masuk duluan?" teman Laura yang bawel itu bertanya sambil menatap Dylan dan Bulan bergantian.

Pertanyaan itu sepertinya mengundang rasa penasaran Laura. Ia pun bergantian melihat ke arah Dylan dan Bulan. Diperhatikan seperti itu, tanpa sadar Dylan menelan air liurnya. Tidak ada yang perlu dijelaskan di sini, tapi mendapat tatapan itu dari Laura, Dylan merasa ia harus menjelaskan sesuatu. Dylan melirik ke arah Bulan, tapi cewek itu malah sibuk mencari sesuatu di tasnya.

"Nunggu lo," jawab Dylan pada akhirnya, karena Bulan sama sekali tidak membantu.

"Padahal bisa, 'kan nunggu di dalam? Lebih adem—"

"Lau, lap dulu keringat kamu."

Sebelum Laura menyelesaikan kalimatnya, Bulan mendekat ke arah Laura dan melap keringat di wajahnya dengan tisu. Laura terkesiap, tapi kemudian ia membiarkan Bulan melakukan itu. Dylan membulatkan mata. Setelah berani menyentuh bibir Laura, sekarang Bulan juga dengan lancang mengelap keringat Laura di hadapan Dylan langsung. Sepertinya aura gelap yang sedari tadi dikeluarkan Dylan belum cukup kuat untuk mengintimidasi cewek ini.

Dylan berdeham keras, membuat keempat cewek itu menoleh. Mata Dylan mengarah pada tangan Bulan yang masih berada di pelipis Laura. Tidak cukup mengelap keringat Laura dengan tisu, cewek itu sekarang malah jelas-jelas menyibak poni Laura. Dylan tiba-tiba merasakan pukulan keras di tengkuk karena terlalu banyak emosi yang ditahannya. Ia mengembuskan napas panjang sambil mengangkat kepala, mencoba untuk kembali tenang.

"Dylan? Lo kenapa?" tanya Laura. Ia beranjak dari tempatnya dan menghampiri Dylan.

"Ayo, masuk!"

Tidak mau melihat adegan seperti itu lagi, Dylan dengan cepat menggandeng tangan Laura dan membawanya masuk ke dalam GOR. Dylan tidak peduli dengan kerlingan nakal dua teman Laura, atau ekspresi bingung Bulan ketika ia membawa pergi Laura.

Tubuh Dylan yang tinggi dengan mudah menyeruak di antara kerumunan, sampai akhirnya mereka berada di tribun. Benar dugaan Dylan, tribun tengah sudah hampir terisi penuh, hanya tinggal bagian belakang saja. Ada tiga arena bertanding di bawah sana, dan Dylan tidak tahu di arena mana Radit akan bertanding. Ia juga tidak bisa menemukan keluarga Pakde Mahesa di tengah padatnya orang-orang.

"Dyl?"

Merasakan tangannya digoyangkan, Dylan pun menoleh. Ia cukup terkejut melihat Laura berada tepat di sebelahnya. Bahkan jarak mereka bisa dikatakan cukup dekat. Fokus Dylan yang tadinya untuk mencari keberadaan Pakde Mahesa, pecah begitu saja. Hiruk-pikuk yang memenuhi GOR, tidak lagi terdengar di telinga Dylan. Matanya hanya tertuju pada satu titik.

"Lo ...." Dylan menelan air liurnya. "Kenapa di sini?"

Laura mengangkat tangannya. Pada saat itu juga, tangan kanan Dylan ikut terangkat. "Lo yang tarik gue. Ingat?"

VillainWhere stories live. Discover now