BAB 12. Tetap di sini

Start from the beginning
                                    

Leana menggeleng. "Dulu saat SMP kelas tiga, Devan sudah kuizinkan mengendarai sepeda motor sendiri karena aku juga mulai sibuk. Tapi, malah dibuat balapan tidak jelas dan kecelakaan saat dikejar polisi. Nakal sekali memang Devan ini, sampai pusing kepalaku."

Aksa terkekeh. "Lalu?"

"Ya ... kubiarkan saja sepeda motornya di tempat barang rongsokan dan tidak membelikannya sepeda motor lagi."

Leana menoleh. "Kak Aksa," panggil Leana.

"Ya?" Aksa lantas menoleh sekilas pada Leana kemudian kembali fokus menyetir.

"Soal Sena."

Aksa menghela napas. "Ada apa dengan Sena?"

"Sakit jantungnya semakin parah. Jari tangan dan kakinya sudah bengkak."

Mobil Aksa perlahan berhenti tatkala lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Aksa menyandarkan kepalanya. "Iya, aku tahu. Sena mungkin akan menjalani operasi perbaikan katup jantung lagi sebelum dia mulai fokus ujian tengah semester dan try out Ujian Nasional."

"Karena kejadian kemarin malam, aku jadi penasaran pada satu hal."

"Apa?"

Lampu kembali hijau, Aksa memindah gigi perselening mobil, kemudian menginjak pedal gasnya perlahan.

"Kalau misal suatu saat terjadi sesuatu pada mereka di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Kakak akan pilih siapa? Ares atau Sena?"

"Aku tidak bisa memilih salah satu diantara mereka," tukas Aksa setelah tercenung beberapa saat.

"Harus pilih salah satu. Ares atau Sena?"

Aksa menyangga sikunya pada sisi pintu mobil, ia gigit bibirnya.

"Ares."

Leana mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa Ares?"

"Karena, bagaimana pun usahanya ... Sena mungkin akan berakhir seperti mantan istriku. Aku terlalu takut untuk hal itu. Tapi, cepat atau lambat, aku harus mempersiapkan diri untuk melepasnya. Aku tidak mau Sena merasakan sakit lagi."

***

Ruang kembali lengang usai Luna keluar dari kamar rawat inap Sena dan pulang menyisakan Sena yang bergelung gusar dengan pemikiran rumitnya, tidak bergeming sekali pun.

Selain memikirkan Ares yang tiba-tiba keluar setelah bertengkar dengannya, Sena juga kalang kabut berusaha menepis secercah harapan yang ia miliki pada seorang Luna.

"Sudah makan? Minum obat?"

Katakanlah, hanya dengan dua patah pertanyaan sederhana dari Luna, Sena sudah nyaris jatuh berharap pada Luna. Padahal, ia tahu dengan pasti bahwa sahabatnya, Luna menyukai Ares.

Bahkan, saat Ares dan Aksa membiarkannya berjuang sendirian, Luna justru datang dan seolah-olah menunjukkan bahwa Sena tidak pernah sendirian.

Sena menggeleng, ditepisnya kuat-kuat opini tersebut.

Sena menoleh pada pintu yang kembali terbuka. Ia tatap Aksa yang berjalan masuk ke ruangan dengan pakaian santainya. Sena menatap jarum jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Ayah mungkin pulang terlebih dahulu ke rumah.

"Dimana Ares?"

Sena mendengus. Ayah dan anak sama saja. Tidak ada yang menanyakan bagaimana keadaannya dan malah membicarakan orang lain.

Aksa mengernyit ketika Sena tidak merespon pertanyaannya dan justru melengos.

"Tadi, Ares pamit akan kemari setelah pulang sekolah. Apa di kamar mandi?" tanya Aksa lagi.

Detak. ✔Where stories live. Discover now