[18] Berawal dari Air Mata

Start from the beginning
                                    

Mata normal Laura menemukan seorang cewek yang memakai seragam putih abu-abu berdiri di depannya. Pundaknya naik-turun, tergugu dalam tangisannya. Rambutnya yang panjang hampir menutupi setengah wajahnya yang terlihat kacau. Meski begitu, tanpa melihat nametag pun Laura mengetahui siapa cewek ini.

"Bulan, lo kenapa?"

Laura tiba-tiba menjadi panik sendiri. Ia merogoh saku celana training, berharap menemukan sapu tangan atau tisu untuk menghapus air mata Bulan. Namun, ia tidak menemukan apapun dan hanya menggerakkan kakinya dengan panik. Jujur saja, Laura sangat payah ketika menghadapi orang yang sedang menangis, baik sekarang maupun di kehidupannya terdahulu.

"L-Lo kenapa?" tanya Laura lagi ketika Bulan tidak menjawab dan masih terus tergugu. Tangannya melayang di udara—antara ingin dan tidak ingin menyentuh Bulan.

"Ng-nggak apa-apa, Lau ...."

Jawaban itu terdengar kontras dengan wajah pucat Bulan. Saat itulah Laura ingat kenapa Bulan tidak memakai seragam olahraga di jam Penjaskes. Sebelum pelajaran dimulai tadi, Bulan meminta izin pada Pak Rasyid karena perutnya sakit—haid hari pertama katanya. Untuk itulah Pak Rasyid mengizinkan Bulan beristirahat di UKS.

Namun, yang sama sekali tidak Laura perhitungkan adalah ia yang pada akhirnya bertemu cewek ini di toilet. Takdir sepertinya memang mempermainkan nasib Laura.

Suara isakan Bulan mulai melemah. Suasana toilet yang hening menciptakan atmosfer aneh. Laura berada dalam dilema yang dalam. Jika ia mengabaikan Bulan begitu saja, di saat ia tahu apa yang baru saja terjadi, itu pasti akan terlihat sangat jahat. Namun, di satu sisi, ia adalah seorang antagonis—sudah pasti "jahat" menjadi salah satu keistimewaannya. Ditambah lagi, Laura tidak ingin membangun hubungan lebih dari teman sekelas bersama Bulan.

Gila lo, Lau! Di mana hati nurani lo?!

Dada Laura berbisik sinis. Sebenarnya sangat mudah bagi Laura untuk melarikan diri. Ia bisa memanfaatkan hati lembut Bulan dan mengatakan ia harus kembali ke lapangan—walaupun jam pelajaran sudah habis. Namun, hati Laura merasa tidak nyaman. Kebisuan Bulan dan sisa air mata yang terlihat jelas di kedua matanya seolah menahan langkah Laura.

Dan benar saja, pada akhirnya Laura harus menyerah pada bisikan itu. Setengah hatinya masih menggerutu, tapi tubuh Laura memiliki jalan pikiran sendiri. Tangan yang awalnya ragu untuk menyentuh Bulan, kini jelas-jelas menyingkirkan anak rambut yang menempel di pipi basah cewek itu. Laura bahkan mau menghapus sisa air matanya.

"Udah, jangan nangis lagi," ucap Laura. "Lo harus masuk kelas buat ulangan Biologi, 'kan?"

Bulan mengangguk pelan. "Iya. Makasih, Lau ...."

"Maaf, ya, kamu pasti kaget," lanjut Bulan. Ia meremas rok abu-abunya dengan kepala tertunduk—seolah menghindari tatapan Laura. "Aku... aku nggak tahu harus gimana, Lau. Dari awal aku terima Kak Ian juga nggak yakin, apalagi kita LDR. Dan sekarang, aku tahu kalau dia udah punya pacar lagi di sana."

"Tapi Kak Ian nggak mau putus sama aku, Lau. Dia bilang semua itu salah aku dan ...." Bulan tidak meneruskan ucapannya karena kembali terisak.

Laura hanya membulatkan mata, meski mulutnya ingin berteriak kencang. Dibanding ilfeel gara-gara Bulan menceritakan sesuatu yang tidak ditanya, Laura justru terkejut dengan kenyataan itu.

Jadi Bulan udah punya pacar?! Kak Ian?

Laura sama sekali tidak pernah mendengar nama itu, baik sekarang maupun di cerita sebelumnya. Dan kelihatannya, hubungan mereka sudah cukup dalam, jika melihat bagaimana Bulan menangis seperti itu gara-gara "Kak Ian". Lantas, untuk apa Dylan masih ada di antara mereka kalau penulis tidak memberinya kesempatan?

VillainWhere stories live. Discover now