Keping 55 : Amplop Hijau

Start from the beginning
                                    

Tapi Naya tak peka, ia tetap mengeluarkan isi kepalanya mentah-mentah, "gue mungkin bukan cewek cantik yang lo harapin. Nggak kayak kebanyakan istri ustad-ustad tampan yang ada di tipi. Gue pendek, nyablak, susah peka, nggak glowing, nggak pernah skincare-an. Pokoknya kentanglah gue, Tad. Jadi, maaf bila pelayanan untuk mata Anda tidak memuaskan, Tuan Izzu."

Izzu menautkan alisnya, beberapa ucapan Naya sama sekali tak dimengertinya, apa lagi kata-kata 'kentang' yang ada di akhir kalimat, Izzu tak tahu sangkut paut antara sayuran dan deskripsi wajah. Sama sekali tidak tahu.

"Ntar kalau ada yang lebih cakep dan lo tertarik, gue bisa apa, Tad?" Naya menyuarakan keburuk-sangkaannya.

"Jika aku mencintaimu karena fisik semata, nanti-nanti mungkin aku bisa meninggalkanmu, Nay. Melakukan apa yang kamu takutan." Izzu berkata sambil mengangkat tangannya dan membelai lembut pucuk kepala Naya, mencoba untuk nyambung dengan kalimat sang dara, "sayangnya, aku tidak mencintaimu karena fisik. Jadi, kemungkinan besar aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kecuali jika ajalku tiba."

Usai Izzu berucap demikian, Naya langsung memanas. Perutnya seperti dikocok dua kali lipat. "Bisa ae lo, Tad."

"Bisa dong, 'kan suaminya Naya." Izzu membalas manja.

Naya tersenyum malu.

"Jangan lupa doain ibu ya Nay. Ibu selalu menunggu doa yang datang darimu. Mohon pada Allah agar ibu dilapangkan kuburnya. Dijauhkan dari siksa, dan dinaungi rahmat Allah." Izzu mencoba memasukkan nasehatnya pada Naya.

Naya mengangguk patuh.

Mereka jeda sejenak, hening tanpa suara.

Setelah beberapa detik terdiam, Izzu kembali membuka suaranya, "sekarang kamu mau pilih satu atau dua?" Izzu mengganti pembahasan.

Naya tercengang, tak tahu maksud si tampan.

"Pilih, Nay." Izzu memaksa.

"Apa yang gue pilih?" Naya bertanya heran.

"Satu atau dua?" Izzu mengulangi pertanyaannya.

Naya jeda sejenak, takut terjebak. Biasa, Izzu sulit ditebak, asal jawab akan membawanya masuk perangkap si ustad. "Kalau gue nggak milih?"

"Maka aku akan ke ruang tamu, kembali berkumpul dengan Davin dan yang lainnya." Izzu menjawab lembut, tapi kalimatnya sangat mengancam.

Naya memutar bola matanya, terlihat seperti berpikir dan sangat berhati-hati. "Kalau gue pilih satu, apa? Kalau gue pilih dua, apa?"

Izzu tersenyum, Naya sepertinya sudah agak sulit untuk dikelabuhi. Lelaki berwajah teduh itu menatap hangat istrinya, menjawab dalam satu tarikan napas, "kalau kamu pilih satu berarti aku mendekat padamu untuk memelukmu. Dan kalau kamu pilih dua berarti aku akan datang ke sana untuk memelukmu."

Seketika, setelah kalimat Izzu meluncur mulus dari bibirnya, Naya tertawa. Satu atau dua ternyata tak ada beda, lalu si nyablak mengeluarkan pilihan lainnya, "kalau gitu gue milih tiga."

Izzu terkejut, "tidak ada pilihan itu."

"Ada." Naya pantang kalah.

Izzu terheran dan mencoba berpikir, sepertinya Naya balik mengerjainya.

Tapi tanpa perlu menunggu ucapan Izzu keluar, Naya mendekatkan jarak mereka, merengkuh sang ustad, merapatkan tubuh mereka dengan melingkarkan tangannya pada punggung tengah si tampan dan berkata pelan, "tiga...berarti gue yang datang buat meluk lo, Tad."

Izzu mematung. Tubuhnya dapat sambutan hangat tanpa persiapan.

Wajah Naya terbenam persis diceruk leher si tampan. Tercium sudah aroma embun rumput di pagi hari yang sangat menyegarkan. Membantu Naya mengisi ulang kenyamanannya.

ZuNaya (InsyaAllah, Cinta ini Lillah)Where stories live. Discover now