14 - Makan Malam

125 17 4
                                    

Tidak ada hari yang membahagiakan bagi Elena sejak dirinya pergi ke arena balap tersebut. Walaupun kedua orang tuanya pulang ke rumah, hukuman dari Edward tetap ia harus laksanakan. Kembarannya itu serius dengan ucapannya, ketika ia ingin pergi ke rumah Auryn pun Edward mengancamnya dengan konsekuensi jika ia melanggar perintahnya.

Dan yang membuat Elena semakin khawatir, kedua kembarannya tidak ingin berbicara dengannya. Terlebih Edwin, ia masih kesal dengannya dan nyaris menghajar Rafael lagi jika tidak diamankan oleh teman-temannya. Gadis itu tidak mempunyai cara untuk berdamai dengan kedua kembarannya, bahkan Rena tidak berhasil membujuk Edward untuk memaafkan dirinya.

"El, aku baru saja melihat ayahmu masuk ke ruangan Pak Bernard. Kapan orang tuamu kembali ke Indonesia?" Elena menjauhkan wajahnya dari meja dan menoleh ke samping kanannya. "Dua hari yang lalu. Ayahku menghadiri rapat di sini, dia akan di Jakarta sampai akhir pekan."

"Ini sudah jam istirahat, apakah kau tidak mau pergi ke kantin? Dimana Auryn dan Rena?"

"Aku tidak nafsu makan, Rico," jawab Elena pelan. "Rena pergi ke cafetaria bersama Edward, dan aku tidak tahu kemana Auryn pergi."

"Apakah kau tidak nafsu makan karena kedua kembaranmu? Mereka masih tidak ingin berbicara denganmu?" Elena mengangguk pelan. "Aku sudah minta maaf, tapi mereka hanya diam. Jika dipikir-pikir kembali, aku pantas mendapatkannya."

"Aku yakin mereka tidak marah sampai detik ini. Kedua kembaranmu hanya khawatir dan merasa gagal karena nyaris membiarkanmu dalam bahaya," jelas Rico, kemudian ia melirik ke bangku Rafael. "Kau bisa tenang hari ini, murid baru itu tidak datang."

Elena menghela nafas kesal. "Aku tidak peduli dengannya lagi. Yang jelas, aku harus memikirkan cara agar kedua kembaranku kembali seperti dulu."

"Kalau begitu, kau harus makan agar pikiranmu lancar." Elena mengangkat sebelah alisnya. "Apa hubungannya, Rico?"

"Jika kau kelaparan, kau tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku tahu kau lapar, perutmu sudah berbunyi sejak aku berbicara denganmu."

"Benarkah?" tanya Elena terkejut. "Aku tidak--"

"Ya, kau tidak mendengarnya karena terlalu banyak pikiran. Jika terlalu stress, kau akan cepat tua." Rico tertawa kecil membuat Elena tersenyum kecut dan mencubit lengan Rico.

"Ayo, kau harus makan." ujar Rico lalu bangkit berdiri. "Kantin atau cafetaria?"

"Cafetaria." jawab Elena singkat. Rico pun mengulurkan tangannya kepadanya. Gadis itu tersenyum kecil lalu menerima uluran tangan itu dan bangkit berdiri.

Mereka pun bergandengan tangan menuju ke cafetaria. Baik Rico maupun Elena sama sekali tidak mempedulikan banyak yang melihat mereka bahkan saling berbisik satu sama lain.

"Elena?"  Mereka berdua serentak menoleh ke sumber suara. Mata Elena membulat sempurna dan langsung melepas genggaman tangan Rico. "P-Papa?"

Papa Elena berjalan menghampiri mereka sambil tersenyum. Pria paruh baya itu menatap mereka dan berhenti di Rico. "Namamu Rico, bukan? Ketua OSIS di Sekolah ini?"

Rico mengangguk dan menjabat tangan Papa Elena lalu tersenyum. "Nama saya Rico Leonard, Pak Winata."

"Jack, Jack Winata. Nama Winata terlalu resmi untukmu, terutama kau kekasih Ele--"

"Tidak! Kami " jawab Elena cepat. "Rico hanya teman--"

"Kami berdua sekelas," ujar Rico sambil tersenyum. "Kami tidak berpacaran, tapi aku menyukai Elena." Mata Elena membulat sempurna. "Astaga, Rico! Kau ingin membuatku meledak di depan Papaku?" jerit Elena dalam hatinya dan berusaha menetralkan detak jantungnya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang