Tidak Sadar (2/2)

Start from the beginning
                                    

"Re," Joy memanggilnya. Revel yang baru saja menenggak milktea menaikkan kedua alis.

Kemudian obrolan kembali berjalan.

Joy bertanya, Revel menjawab. Awalnya masih begitu kaku karena seperti biasa, Revel menjawab sekenanya. Tapi lama-lama Joy menemukan titik celah untuk menyamakan frekuensi. Perlahan Revel bisa bicara lebih terbuka. Ia bahkan sempat mengeluhkan kejadian pagi tadi, ketika orangtunya tiba-tiba membicarakan sesuatu yang tidak mau ia dengar.

"Walau begitu, kamu nggak bisa menghindari kenyataan kalau kamu ada karena mereka, Re."

"Saya adalah kesalahan mereka." Revel tersenyum hambar. Sebelum Joy menjawab, ia segera menambahkan, "Tolong jangan mengasihani. Kenyataan itu sudah menjadi bagian hidup saya. Dan itu nggak masalah."

Bagaimanapun, Kris dan Dahlia sudah terlalu asing untuk Revel. Keduanya tidak bisa singgah seenaknya dan berlakon seakan-akan mereka bisa memperbaiki kesalahan. Revel merasa, sudah terlalu terlambat. Tiada guna lagi.

"Coba diingat-ingat. Sebelum mereka berpisah, pasti ada momen yang membuat kamu bahagia."

Revel menggeleng penuh penegasan.

Joy mengangguk takzim. Ia tidak bisa terus memaksa. Ini bukan ranahnya lagi.

"Terus, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Joy.

Mungkin mempercepat bunuh diri, jawab Revel dalam hati. Dari enam menjadi tiga hari lagi.

"Gimana kalau lulus dan wisuda tahun ini?"

Revel tidak menjawab tapi tatapan Joy tampak serius. Senyum setengah gusinya tidak absen. Itu berarti gadis ini memang tulus tengah mendukungnya.

"Akan saya pertimbangkan," kata Revel tanpa minat. Ia berbohong. Ia hanya ingin kelihatan baik-baik saja. Kalau soal bunuh diri dikatakan, bisa-bisa Joy memekik histeris.

"Aku bakal kasih hadiah kalau kamu bisa wisuda tahun ini."

"Hadiah apa?"

"Apapun yang kamu mau."

Revel tersenyum hambar. Joy terlalu berlagak. Apapun katanya? Ha-ha. Apa itu termasuk tubuhnya? Oh, sial! Revel berpikir kotor.

"Kalau putus dengan Jeje?" kata Revel pada akhirnya.

"Kamu mau aku putusin dia? Kenapa? Coba bilang alasannya?"

Revel membisu. Menjaga diri agar terlihat biasa saja. Padahal jantungnya berdebum cepat.

"Omong-omong," Sambungan Joy membuat Revel menoleh. "Soal telepon waktu itu. Yang kamu bilang rindu."

Revel meneguk ludah dengan kaku. Tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya panas, berkeringat, lengket. Ia takut Joy benar-benar bertanya lebih jauh. Ah, sial! Malu sekali rasanya.

"Itu beneran?"

Revel berusaha menetralkan nada suaranya. "Benar, saya memang rindu kamu."

"Dan setelah kalimat itu ... "

"Nggak ada. Cuma itu."

Keduanya terkunci dalam situasi hening. Joy menatap lekat-lekat, Revel tegar di posisinya. Gadis di hadapan Revel itu jelas menunggu sesuatu. Alih-alih memberi, Revel justru tetap diam sembari memandangnya.

"Kamu benar-benar nggak mau bilang, Re?"

"Bilang apa?"

"Lupakan." Joy melengos. "Malam itu ternyata memang salah dengar."

Revel melihat lautan kecewa di mata Joy. Lagi-lagi ... Lagi-lagi aku bersikap memuakkan! Tuduhnya dengan perasaan berantakan.

Seandainya Joy tahu, Revel tidak mungkin lupa pengakuan malam itu. Apa yang dikatannya memang serius. Masalahnya, Revel terlalu pengecut untuk mengulangi. Sungguh, apa yang ditanya Joy ada di ujung lidah. Ya, benar. Saya naksir kamu sejak kita berteman. I want you, Joy.

Aku dan Sang Pemusnah MasalWhere stories live. Discover now