Sang Pemusnah Massal

8.6K 983 131
                                    

▪️21 Hari lagi

Untitled milik Simple Plan sedang berputar di menit pertama ketika Revel membaca suratnya. Tulisan yang dirangkai beberapa menit lalu itu membuat matanya menyipit. Kian menghimpit. Terus menyempit.

Lama-lama ia merasa jengkel. Cowok kurus itu lantas merobek halaman bukunya. Meremas dengan penuh nafsu. Menjejalkan ke dalam saku jaket.

Suratnya jelek! Makinya dalam hati. Ia semakin mengubur gulungan kertas itu ke dalam saku, memastikan tidak bisa keluar lagi. Sambil mendengus, ia memijat-mijat pelipis. Tepat pada saat itu, lirik "i just wanna scream how could this happen to me" berdengung di kuping.

"Lihat, betapa bodohnya dirimu! Untuk menulis surat saja masih salah-salah. Sebenarnya apa yang bisa kamu lakukan selain menyusahkan orang lain?"

Walau memakai earphone, Revel bisa merasakan 'sesuatu' membisikinya demikian. 'Sesuatu' yang Revel panggil sebagai sang Pemusnah Massal. Makhluk itu tak kasat mata. Mengerikan. Buas. Dalam satu detik, setidaknya satu orang terbunuh karenanya. Kurt Cobain, Chester Bennington, Robins William, Kim Jonghyun, Choi Jinri, mereka adalah sebagian korban keganasan sang Pemusnah Massal.

Entah sejak kapan sang Pemusnah Massal mulai mengintai Revel. Seingatnya, makhluk sialan ini tidak ada ketika Revel masih kecil. Dan lagi, julukan sang Pemusnah Massal ini muncul begitu saja di pikiran Revel.

Sang Pemusnah Massal awalnya berukuran kecil. Namun, semakin bertambah usia Revel, semakin membesar pula dia. Sang Pemusnah Massal selalu menggiring Revel pada lumpur kedukaan. Tentang memori buruk. Angan yang tidak pernah tercapai. Hingga kecemasan yang belum terjadi. Semuanya tampak kelam jika sang Pemusnah Massal yang menggerakkan katrol di benak Revel.

Jika sang Pemusnah Massal muncul, bernapaspun menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Seperti sekarang. Revel merasa pelipisnya berdenyut. Dadanya sesak. Sekujur badannya mendadak kaku.

Revel berusaha melawan dengan cara bernapas tanpa jeda. Hidu, embuskan. Hirup, buang. Begitu seterusnya. Lima detik berlalu, Revel mulai bisa menguasai diri. Ia kembali ditarik pada kenyataan, bahwa segalanya memang normal. Tidak ada yang salah. Tidak ada sang Pemusnah Massal.

Merasa lebih tenang, Revel meraih kembali gulungan kertas di saku jaket. Membuka sedikit lalu menatapnya tanpa ekspresi.

Surat ini ... Ah, sial! Batinnya. Surat ini biarlah menjadi persoalan nanti. Tenggat waktunya masih lama. Lagi pula, tidak menuliskan surat juga tidak masalah. Oma tetap akan menangis ketika menyadari cucunya mati.

Karena bunuh diri.

Revel menelan ludah dengan gusar. Di satu sisi, ia merasa keputusannya sudah tepat. Namun di sudut lain, ia masih belum percaya bahwa inilah pilihannya. Ia akan mati. Melawan takdir Tuhan.

Revel menjejalkan kembali gumpalan kertas ke saku jaket. Bersamaan dengan itu, dalam hati ia terus mengulangi, Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.

Revel menutup buku catatannya, melepas earphone di kuping, kemudian memandang sekeliling. Ia tersadar telah keasyikan. Ternyata sejak tadi ia abai terhadap sekitar.

Ia sedang berada di laboratorium Aljabar Boolean, yang kebetulan penghuninya bukan ia seorang. Ruangan yang biasa dipakai praktikum untuk mahasiswa semester tiga ini sedang dihuni enam orang. Tiga cowok, yang merupakan adik angkatannya, sedang ribut memainkan komputer admin. Letaknya berdiagonal dengan Revel.

Dua yang lain, sedang bisik-bisik. Mungkin curhat (sebab dua ini kaum hawa). Mereka juga adik tingkatnya. Lalu sisanya Revel sendiri, duduk paling ujung sambil pura-pura membaca draft skripsi padahal tengah menulis surat wasiat.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang