Jatuh

2.1K 515 82
                                    

▪️8 Hari Lagi

Revel merasakan badannya remuk setelah turun dari kereta. Padahal selama perjalanan tadi dirinya tertidur cukup lelap. Tidak terjaga oleh segala huru-hara. Termasuk notifikasi ponsel.

Stasiun Bandung pagi itu tampak sibuk seperti biasa. Matahari belum muncul tapi mesin kereta sudah panas. Para petugas juga bersiaga. Bunyi informasi keberangkatan dan kedatangan ulat besi bermesin berpadu dengan gerombolan manusia yang lalu lalang.

Sambil menepi dari gerombolan manusia yang juga baru turun dari kereta, Revel membaca notifikasi di ponsel. Angin saat itu menembus agak kejam. Satu tangan Revel terpaksa masuk ke saku jaket.

Bang Revel, jujur ini mah. Lu ke mana sih? Kata temen kos lu, lu gak kelihatan sejak beberapa hari terakhir. Modar nih jangan-jangan. Pesan dari Wendy pukul setengah sepuluh malam.

Baru sampai rumah. Lo hati-hati, ya. Btw makasih. Pesan dari Yeriana, dikirim lima menit dari Wendy.

Selamat malam, Cucu Kesayangan Oma. Sudah tidurkah kamu? Dari Zufni. Pukul sepuluh.

2 missed calls from Oma. Tertera lima belas menit setelah pesan.

Revel tidak berniat membalas satupun. Pertama, pesan-pesan itu tidak memiliki urgensi.

Kedua, ia hanya ingin sampai di kamar kos lalu tidur. Badannya terasa sakit semua. Kepalanya berdenyut-denyut. Rahangnya ngilu. Kakinya linu. Tangannya seperti mau patah. Matanya juga sangat berat ingin memejam.

Ketiga, ia takut neneknya tahu bahwa sang cucu sedang tidak baik-baik saja. Meski terpisah jauh, kadang insting neneknya sangat tajam. Tanpa melihat, ia mungkin bisa merasakan lebam-lebam di badan Revel.

Angin berkesiur saat Revel meneruskan langkah. Membuat tulang-tulangnya terasa ditusuk. Ia lantas memasukkan ponsel ke saku jaket lalu menenggelamkan kedua tangannya juga.

Tepat ketika ia berjalan melewati papan info bertuliskan Pintu Utara, ponselnya berdering. Ia meraih kembali alat komunikasinya dan terpaksa mengangkat panggilan sang nenek.

"Assalamu'alaikum," sapa wanita tua itu. Begitu lembut. Tenang seperti biasa. Sayup-sayup terdengar suara iqamah di seberang sana.

Revel membalas sapaan sambil menepi ke pojok. Tidak terlalu ramai di sana. Neneknya tidak akan tahu dirinya sedang di luar.

"Sudah subuhan belum, Mail?"

"Belum."

"Baru bangun, ya?"

Revel mengiyakan.

"Jangan pernah tinggalkan salat, ya, Mail."

"Iya."

"Ayo, sekarang bangun dulu. Ambil wudu. Nanti Oma telpon lagi."

"Nanti saja, Oma."

"Lima menit lagi, ya. Mau mengumpulkan nyawa, kan?"

Revel menjawab sekenanya.

"Nanti jangan lupa berdoa, ya, Mail. Minta sama Allah apapun yang kamu mau. Allah itu Maha Baik. Dia sayang semua hamba-Nya. Dia satu-satunya yang nggak akan tinggalkan kamu."

Revel mengembus napas bosan. Here we go. Nasihat yang itu-itu juga. Revel bosan mendengarnya.

Sambil menyimak, Revel menyandarkan kepala pada dinding. Matanya mulai menutup didera kantuk. Namun meski begitu, kupingnya masih mendengar dengan awas. Sayup-sayup iqamah ——kali ini di sekitarnya—— mengetuk koklea. Di sambungan sana, sang nenek pun masih ceramah.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang