Cucu Kesayangan Oma

2.6K 586 48
                                    

▪️16 Hari Lagi

Revel mengerang tertahan sambil memegang dada kiri. Pikirannya berkecamuk. Mengingat-ingat yang barusan. Sial! Makinya dalam hati. Sialan! Sialan! Sialan! Benarkah barusan ia mengatakan rindu, juga mengakui perasaannya pada Joy? Oh, sungguh tolol! Tidak punya otak! Buat apa, sih?!

Harusnya ia merasa lega, bukan? Tapi kenapa? Kenapa justru masih ada ketidaknyamanan yang menjejak di hati? Apa karena Revel menyesali yang dilakukannya? Atau, sang Pemusnah Massal yang menertawakannya? Atau, karena sadar bertepuk sebelah tangan? Tadi Joy tidak mengatakan apa-apa, kan? Dia tidak membalas rindu Revel, tidak pula mempunyai perasaan yang sama. Ah, sial!

Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun, rindu sebelah tangan juga tidak kalah mengerikan. Setelah rindu itu dinyatakan, Tuhan ternyata tidak menyatukan. Sungguh memilukan, sekaligus memalukan.

Cinta monyet taik kotok! Revel menamai kisah SMA-nya dengan Joyce.

Sebagian orang pasti menuduhnya pengecut--tidak punya nyali untuk menyatakan perasaan sejak dulu. Memojokkan bahwa ini salahnya sendiri. Tapi Revel tidak peduli. Kalau dia memang pengecut, lantas kenapa? Masalah?

Revel bertekad, setelah ini, ia tidak mau lagi berurusan dengan Joy. Kisahnya sudah tutup buku. Tidak mungkin ada kelanjutan. Kalaupun ada sambungannya, sudah pasti tidak akan happy ending. Sebab bagaimanapun, ia akan menamatkan secara paksa kisahnya di tanggal 22 Februari.

"Mail." Panggilan Zufni membuyarkan renungan Revel. Nenek tua itu mengetuk pintu kamar kemudian berkata, "Saatnya makan."

Revel beringsut dari kasur. Sebelum keluar kamar, ia memandang ponselnya lamat-lamat. Sedikit berharap ada notifikasi dari Joy. Sepuluh detik. Empat puluh detik. Hingga satu menit berlalu, tidak ada tanda sama sekali. Huh, sial!

Revel keluar kamar tanpa membawa ponsel. Ia menghampiri neneknya yang sudah duduk manis di hadapan meja makan. Santap malam kali ini dihiasi kudapan lebih mewah. Ayam goreng, tumis kangkung, dan sambal korek. Ada kerupuk udang juga rupanya. Seketika perut Revel mengerut minta diisi.

"Makan yanga banyak. Mumpung di sini." Wanita tua di hadapan Revel menyinduk nasi dengan penuh semangat. "Ambil ayamnya dua, ya. Kangkungnya habiskan saja. Sambalnya sedikit, ya? Takut sakit perut. Kang ... "

"Biar saya ambil sendiri, Oma."

Zufni menggeleng. "Kalau ambil sendiri, pasti makannya kayak kucing. Sudah, kamu diam saja. Oma yang ambilin."

"Itu kebanyakan. Saya nggak akan bisa ngabisin."

Revel kenyang sendiri melihat makan malam yang dipilih neneknya. Kalau dihitung-hitung, porsi sebanyak ini untuk tiga kali makan. Waduh!

"Dulu waktu kamu masih suka main bola, makanmu sebanyak ini, Mail," ujar neneknya sambil mengangsurkan piring yang telah ditumpuki makanan. "Kenapa sekarang makanmu jadi sedikit?"

"Cuma tidak berselera," jawab Revel pendek.

"Makanlah semua yang kamu suka, Mail."

Tidak ada yang kusuka.

"Ayam goreng, soto, satai."

Lidahku sudah tidak bernafsu memakan semua itu.

"Besok mau dimasakin apa?"

Tidak ada.

"Bagaimana kalau sup ayam? Oma tahu, pasti kamu jarang makan sayur kan kalau di Bandung?"

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang