Sudah Saatnya

5.4K 572 164
                                    

Kemarin aku marah
Berdarah
Gerah
Parah
Mungkin aku butuh tirah
Atau bahkan pasrah

Hari ini aku bimbang
Tapi tidak tumbang
Aku pasti terbang
Keputusan sudah di ambang

Esok aku mati
Lenyap tanpa arti
Sendiri sampai nanti
Itu pasti

Revel menutup buku biru di tangan sambil mengembus napas berat. Hatinya tergores. Napasnya sesak. Kerongkongannya tercekik.

"Saya nggak bisa," ujarnya entah pada siapa. Di atap lantai sepuluh gedung perkuliahan ini hanya ada dirinya.

Revel mengepalkan tangan. Ia memukul-mukul dada sambil menggigit bibir. Saking kuatnya ia menggigit, giginya sukses melukai. Bibir bawahnya kini berdarah. Rasa amis terjilat oleh lidah.

Tangan kanan masih memukul dada secara membabibuta. Revel merasa sesak luar biasa. Tapi apa artinya semua sakit itu jika ada yang jauh lebih tersiksa. Hati. Iya, hatinya.

Merasa tidak tahan, Revel lantas melempar buku di tangan kiri jauh ke depan. Awalnya lembaran kertas itu melesat sesuai arah lemparan, tapi lama-lama tertarik gravitasi.

Ia memperhatikan gerak terjun bebas si buku. Semakin melesat ke bawah. Menghantap tembok dan pinggiran gedung. Semakin lama semakin terlihat kecil. Sampai akhirnya jatuh juga di tanah.

Revel mengembus napas berat sambil memandangi latar. Langit sore terlukis di cakrawala. Semburat orens bergabung dengan butiran kapas yang berarak. Sejauh mata memandang, jejeran gedung dan atap saling tertata. Jarak yang jauh membuat mereka kelihatan mini.

Revel memandang lurus ke depan. Parasnya melukiskan kesedihan. Luka menggelora di kilatan mata. Duka tercermin dari rona pipi. Tepat pada saat itu, angin berkesiur membelai rambut. Cowok kurus itu kelihatan semakin sendu tapi air matanya tidak membuncah. Hanya membentuk kaca-kaca yang menghalangi pandangan.

Ia memang sudah tidak bisa lagi menangis. Bosan, lebih tepatnya. Semua yang ia alami telah menghancurkan fungsi hati dan kelenjar air mata.

Hari-hari tidak kunjung membaik tapi ternyata ia masih hidup. Hal itu dikarenakan Revel membiarkan semua berjalan sesuai alur. Ke mana waktu akan pergi, Revel ikuti. Sekalipun jiwanya makin mati, semua terserah nanti.

Sekarang perhitungannya tidak lagi kepada tanggal-tanggal, melainkan kesempatan. Jika merasa waktunya sudah tepat, saat itu juga ia akan bersiap. Setiap hari, setidaknya tiga benda harus bersamanya minimal satu : cutter, racun nyamuk semprot, atau obat tidur. Rumus kesempatan mati tertanam di otak. Bunyinya, "setiap saat adalah kesempatan untuk bunuh diri, tapi jika ada agenda lain maka tundalah sampai hal itu selesai."

Pola pikir tersebut rupanya cukup ampuh untuk jiwanya yang makin mati. Setidaknya Revel jadi punya alasan. Lakukan karena memang sudah waktunya, atau tunda karena dia harus menyelesaikan sesuatu.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang