Setan Kecil yang Hampir Menangis

2.1K 483 13
                                    

▪️12 Hari Lagi

Mereka sampai setelah kereta menjilati rel sembilan jam lamanya. Yeriana berjalan di depan Revel ketika mengantri turun. Sedikitpun bibirnya tidak menegur. Sejak kembali dari restorasi tadi, gadis itu memang bungkam sejuta bahasa. Ia meneruskan tidur. Beberapa kali memang terbangun untuk buang air kecil. Tapi saat beringsut dan kaki Revel menghalangi jalannya, iapun menyeruduk tanpa permisi.

Hiruk pikuk di stasiun langsung menyambut begitu keduanya turun dari kereta. Orang-orang lalu lalang. Ada yang sambil menggusur koper. Ada yang menggendong ransel besar. Ada yang berjalan sambil menelpon dan sesekali melirik tiket. Ada juga yang melakukan semua bersamaan——bawa koper, menggendong ransel, menelpon, dan menengok tiket.

Suasana Kota Pelajar saat itu cukup panas kendati sudah sore. Matahari masih menyorot tanpa ampun. Udaranya kering dan membuat pengap. Ditambah betapa ramainya orang yang hilir mudik, lengkap sudah kepenatan ini.

"Heh, bocil!" kata Revel ketika mereka menuruni ubin yang lebih rendah. Suaranya sedikit tenggelam di antara bunyi speaker pengumuman, peluit petugas stasiun, dan langkah orang-orang. "Hei," sahutnya lebih keras.

Yeriana mendongak ke arah Revel. "Ngomong apa lo? Lo kali yang bocil."

"Saya kebelet."

"Ditahan nggak bisa?"

Revel menggeleng lalu menghentikan langkah.

"Mau kabur lo, ya." Yeriana buru-buru menahan lengannya.

"Nggak."

Revel membawa Yeriana ke bangku panjang, beberapa meter dari posisi mereka. Ia melepaskan ransel dan menunjukkan dompet sebagai jaminan. Karena hasrat kencingnya semakin tinggi, ia tidak bicara apa-apa lagi. Langsung meninggalkan gadis itu sendirian.

Hampir sepuluh menit Revel menuntaskan kebeletnya. Ia yang merasa lebih lega, berjalan santai ke tempat Yeriana. Dari jauh, penampakan gadis itu sudah ditangkap mata. Hanya saja, kali ini Revel sedikit heran. Yeriana tidak sendirian. Gadis itu dikelilingi tiga cewek yang seumuran dengannya.

Revel terka, mereka mungkin teman-teman Yeriana. Ketiganya bercanda dan kelihatan senang. Namun, semakin dekat jarak Revel dengan mereka, sesuatu yang janggal baru ia sadari. Ketika tiga remaja itu terkekeh, Yeriana justru mematung. Bibirnya sama sekali tidak bergerak.

Iseng, Revel mempercepat langkah. Ia sampai di tempat. Ketiga teman Yeriana itu langsung menoleh. Menatap Revel dengan pandangan yang sulit diartikan.

Ketika Revel balas menatap, salah satu dari mereka merangkul Yeriana. "Kenapa, Mas? Kami temannya."

Yeriana tetap diam. Ketika Revel masih menunggu konfirmasi, gadis itu akhirnya mengangguk.

"Teman?" ulang Revel. Entah hanya perasaan atau memang instingnya sedang iseng, Revel merasa tidak percaya. Anggukan dan tatapan Yeriana mengartikan keterpaksaan.

"Ya, kami berteman." Satu yang lain, yang berdiri di samping kanan Yeriana, menyahut.

Tidak ada obrolan apa-apa setelah itu. Kelimanya berada di situasi canggung. Yeriana yang harusnya beperan sebagai mediator pun diam. Apa karena ia memang tidak mau mengenalkan Revel sebagai kakak tiri, entahlah.

"Masnya kenapa masih di sini?" tegur cewek berjepit orens. Ia berdiri di samping gadis yang merangkul Yeriana.

Sekarang Revel baru sadar. Teman-teman Yeriana menyangka Revel hanya kebetulan menghampiri mereka. Pandangan ketiganya menegaskan kalau Revel tidak punya andil apapun. Jadi, silakan pergi. Jangan ikut campur lagi.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang