Kelima

2.3K 509 37
                                    

▪️15 Hari Lagi

"Bang, lo nggak lagi kesurupan, kan?" Wendy bertanya sambil memandang nampan Revel. Seingatnya, kakak tingkatnya ini bukan orang yang rakus. Tubuhnya yang kurus sangat menjelaskan betapa jarangnya Revel makan.

Lalu sekarang? Lelaki di hadapannya membawa lima potong ayam goreng, hasil promo menggunakan kupon. Meski tanpa nasi, Wendy yakin Revel akan kepenuhan. Ayam-ayam sebesar kepalan tangan itu tercium ke mana-mana. Kepulan asapnya menari di sekitar nampan. Remahannya tercecer di piring.

"Bakal habis nggak, tuh?" tanya Wendy lagi.

"Kalau nggak habis, ada kamu."

"Oh, sorry. Gue sudah punya makanan sendiri."

"Pisang doang? Kayak monyet."

Wendy mencubit tangan cowok itu dengan gemas. Revel langsung meringis kesakitan.

"Ini bukan cuma pisang. Ada apel. Anggur. Strawberry."

"Rujak?"

"Ini salad, bukan rujak."

Revel menirukan gaya bicara Wendy dengan wajah mengejek. Gadis itu sekali lagi hendak melukai jari-jarinya dengan kuku. Beruntung Yeriana segera datang menginterupsi. Cewek yang tadi izin ke toilet itu sudah memesan makanan juga. Sama seperti Revel, ia memilih ayam goreng. Bedanya, jumlah Yeriana hanya dua puluh persen dari milik Revel. Ia juga menambahkan satu porsi kentang dan cola.

Tadi selepas membuang uang dengan karaoke ——ini ungkapan yang diciptakan Revel—— Wendy dan Yeriana sepakat mengisi perut. Sama seperti sebelumnya, Revel menjadi kambing congek selama kaki melangkah. Wendy yang berjalan di tengah, terus saja menoleh pada teman barunya. Seakan-akan lupa kalau Revel ada di sana.

"Harusnya ada, Ri. Inget banget gue taruh di saku."

Tiba-tiba Wendy berkata demikian. Gadis itu tampak kebingungan. Ia meraba-raba saku rok, mengaduk tas selempang, dan celangak-celinguk memandangi lantai. Revel yang baru mencubit kulit ayam goreng, santai saja melihatnya. Ia tahu apa yang akan dikatakan Wendy setelah ini.

"Bang, call hape gue, dong."

Kan?

Tanpa bicara, Revel langsung mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Wendy yang menyaksikan itu langsung nyengir. Menyadari kalau hal ini biasa terjadi. Yang mana Wendy lupa dengan barang bawaannya, kemudian hanya Revel yang sadar, disambung Wendy kelimpungan, dan akhirnya malu sendiri.

"Thank you," kata Wendy tersenyum malu. "Untung ada Abang. Kalau nggak ada Abang, ya nggak ada Abang."

"Itu hidung kalau nggak nempel di kepala, kayaknya bakal lupa juga kamu taruh di mana."

"Dih, sewot."

Revel melengos cuai. Kepalanya kembali terisap ke arah ayam goreng. Wendy dan Yeriana lagi-lagi berbincang ringan. Tentang sesuatu yang tidak diminati Revel. Drama korea, sajak, parfum, lisptik. Benar-benar tidak menarik.

"Hi. My name is YeriThis water taste like water."

"Oh, so cute."

"It's not cute, Wendy."

"I think ... it's cute."

Semakin lama, obrolan mereka semakin tidak dipahami arahnya. Mereka menggunakan bahasa inggris tanpa topik. Revel geleng-geleng kepala. Apa, sih, nggak jelas. Pikirnya. Apa Wendy menularkan ketidakjelasan sikapnya pada Yeriana? Revel sungguh tidak mengerti kalau memang demikian.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang