Tidak Sadar (2/2)

Start from the beginning
                                    

"Kamu bicara seolah-olah saya yang salah," kata Revel sambil memalingkan muka. "Padahal mereka yang salah, Joy."

"Aku nggak nyalahin siapapun, Re. Hanya saja, apa sebaiknya kamu luruskan masalah ini? Sorry to say, semalam setelah kamu tutup pintu, Papa kamu cerita beberapa hal."

Revel mengetatkan rahang. Tangannya membentuk tinju di bawah meja. Oh, Kristanto sialan! Apa-apaan dia itu, seenaknya bicara pada temanku!

"Re," panggil Joy dengan suara lembut. "Papa kamu merasa bersalah. Dia pengin memperbaiki semuanya."

"Tolong jangan ikut campur," potong Revel tegas. "Kamu nggak tahu apa-apa."

Joy terenyak oleh kata-kata Revel. Cara bicaranya yang datar, tatapan matanya yang lurus, semua itu seperti menamparnya secara halus. Dan kata-kata "kamu nggak tahu apa-apa" membuat Joy sadar harus segera berkaca. Sejak dulu Revel memang hanya menganggapnya orang biasa. Tidak penting. Tidak berarti. Dia akan selalu jauh dan tak tergapai.

"Maaf kalau terlalu kasar," sambung Revel. "Saya hanya ... Hm, kamu tahu, sedikit kacau."

"Kamu benar, Re. Aku nggak tahu apa-apa soal kamu."

"Nggak, tadi maksud saya ... "

Revel tidak jadi meneruskan ucapan. Merasa tiada guna menjelaskan.

Sepi kini mengetuk.

Revel gelagapan dalam hati. Ia sadar dirinya bukan orang yang pandai mencari topik. Pikirkan! Pikirkan! Pikirkan! Katanya sambil mencari ide. Oh, benar-benar bodoh! Kenapa ia harus bingung begini? Hanya mencari topik percakapan, apa susahnya?

"Maka dari itu." Suara Joy menamparnya. "Mungkin ini saatnya. Dulu kamu yang sering dengerin aku, semuanya, bahkan soal nggak penting sekalipun. Sekarang kita harus bertukar. Ceritakan, Re. Katakan saja."

Revel menggaruk rambutnya dengan salah tingkah. Dadanya bertalu kencang. Sudah lama sekali ia tidak berbicara empat mata dengan gadis yang sempat singgah di hatinya. Ada perasaan membuncah yang memompa darah lebih cepat. Namun, ada juga kesadaran yang harus ia telan.

Aku dan dia sudah terlalu jauh.

"Ayolah, Re."

"Kamu tanya, saya coba jawab."

Joy berdecak. Agak sebal lantaran Revel masih tidak berubah. Dia tidak punya inisiatif untuk membuka diri.

"Oke." Joy memperbaiki posisi duduk. "Kayak gimana perasaan kamu sekarang?"

Masih sama, Joy. Tetap kau yang tertulis di hatiku. Bisik Revel dalam benak. Kemudian ia segera tersadar. Bukan itu maksud pertanyaan Joy.

"Lebih baik," jawab Revel sambil memalingkan muka. Ia tidak berani memandang Joy. Masih malu karena memikirkan jawaban beda maksud. "Terima kasih sudah bertanya."

Joy berharap jawaban Revel memang benar. Ia tidak pernah melihat Revel menangis. Pemuda itu selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja. Hati Joy merasa tergores kalau ingat kejadian tadi. Revel yang terlihat kalem, nyatanya bisa menangis sehebat tadi. Bahu naik turun. Napas sesenggukan. Tangis yang sendu. Semua itu membuat Joy merasa tidak berguna sebagai sahabat.

Tumpahan luka Revel seperti buncahan yang dikeluarkan secara masif. Itu bukan saja tangisan akibat ditinggal orang tersayang. Tapi juga kemarahan, keputusasaan, kesedihan yang ditahan terlalu lama.

Revel tidak pernah mengeluh di depan Joy. Selama mereka kenal, Joy yang merecoki Revel dengan keluhan. Dan Revel selalu berusaha memberi solusi. Joy tidak sadar, bisa jadi ketika ia mengeluh, Revel sebenarnya sedang meredam denyut nyeri akibat masalahnya sendiri. Itulah mengapa Joy merasa tidak berguna sebagai sahabat.

Aku dan Sang Pemusnah MasalWhere stories live. Discover now