Selesai Tidaknya Sebuah Kisah

15 3 0
                                    

Rabu sore, Atsukawa Hinamori baru saja memejamkan matanya dan berniat istirahat selama beberapa menit―meski berakhir bablas beberapa jam―setelah sebelumnya membuat kerangka laporan yang harus ia kumpulkan sebelum minggu depan tiba.

Namun sayangnya, kali ini itu tidak terjadi. Sebab, pintu kamarnya yang tidak punya kunci itu mendadak terbuka. Tentu saja sebagian besar dari kalian tahu bagaiamana rasanya? Menyebalkan sekaligus ... baik, tak perlu dijabarkan lagi. Yang pasti, gadis yang biasa disapa  Nari itu langsung terbangun sambil menatap sinis ke arah pintu.

Tidak, bukan sepenuhnya sinis. Ia hanya tak bisa menangkap jelas siapa yang baru saja membuka pintu kamarnya. Punya minus lebih dari 5 itu menyebalkan.

"Ngapain, sih?" tanya Nari dengan suara yang tak jelas. Lidah bagian kirinya sedang sariawan.

Sementara itu sesosok gadis yang lebih jangkung darinya itu hanya menatap heran di depan pintu. Terdiam menatap Nari yang ya ... memang berantakan. Bahkan ia belum mandi hari ini―oke, lupakan saja yang ini. Tapi kenyataannya memang demikian.

"Kalau nyari mamah lagi ke―" Nari menghentikan kata-katanya ketika sadar kalau yang diajak bicaranya bukan tamu mamanya. Lagipula, sejak kapan rumah mereka kedatangan tamu yang tiba-tiba nyelonong masuk? Tidak ada harusnya.

Tapi anak ini ....

"Alice katanya mau ketemu Nari." Suara seseorang tiba-tiba terdengar. Jelas bukan suara gadis yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya itu. Malah ia yang sedang menoleh ke arah lain―alias ke arah suara itu berasal.

Dan tak lama, ada sosok lain yang berada di sebelah gadis itu. Laki-laki yang lebih tinggi dari gadis di sebelahnya yang ... dipanggil apa tadi? Alice? Ia cuma kenal satu nama Alice dalam dunianya.

Nari sekarang jadi bingung sendiri. Mungkin ia melindur. Jadi, ia mencubit bagian pahanya sedikit dan ... sakit. Artinya ini nyata.

"Kalian siapa tiba-tiba nyelonong mas―" Lagi-lagi ucapan Nari belum selesai. Namun yang memotongnya kali ini adalah keberadaan laki-laki yang sebelumnya ada di sebelah Alice.

"Harusnya aku ga bilang juga mama tahu kita ini siapa," celetuk laki-laki tersebut membuat bibir Nari terangkat.

Kalian dengar bukan tadi? Laki-laki itu memanggil Nari apa? Sumpah, ia masih belum punya anak selain yang ia lahirkan via ...

"Serius?" Tanpa sadar Nari bertanya demikian.

Sementara sosok laki-laki di hadapannya sudah memutar kedua bola matanya malas. "Ya, emangnya anak mama lahir dari mana kalau bukan dari tulisan? Jauh-jauh kami mampir tapi gak dikenalin. Jahat!"

Ocehan yang tidak asing. Seenaknya tapi bukan bermaksud untuk menyakiti perasaannya. Sosok ini ... bahkan meski Nari terus menggelengkan kepalanya. Tetap tak bisa menyangkal kenyataan kalau ia berpikir bahwa ini adalah Erza.

Ya, siapa lagi sosok yang punya kelakuan seperti itu?

Tak lama, Nari mengalihkan pandangannya pada Alice yang masih belum mendekat padanya. Demi apapun, jangan katakan padanya kalau Alice yang sekarang hadir di kamarnya itu adalah Alice 2.5 Dimension.

Kalau memang demikian, biarkan Nari sembunyi dari anak itu. Dan jangan bilang kalau ...

"Entah mama mikir apa sekarang tapi aku bener-bener Erza," ucapan Erza menyadarkan Nari kalau semua ini bukan kebohongan semata. "Aku datang nganter Alice, katanya kapan mereka tamat?"

JGEEEER!

Meski tidak ada petir, tapi sesuatu seolah menyambar punggung Nari sekarang. Tekanan mendadak yang bisa-bisa membuatnya merasakan panas dingin lantas ingin cepat lari ke kamar mandi.

"Tapi kayaknya banyak yang gak beres di sini," kata Erza yang tanpa Nari sadari sudah melirik ke arah lantai kamarnya. Penuh dengan kertas printan gagal yang berserakan. "Lice, nagih updatenya harus ditunda dulu." Erza kini melirik ke arah Alice.

"Ya, udah duga bakal gini, sih," balas Alice sambil menghela napas. Lalu melirik ke arah Nari yang tidak paham maksud mereka. "Ini Alice yang sesuai sama  pikiran mama, kok."

Nari tak bereaksi, hanya terdiam. Sementara Alice hanya tersenyum lembut. Ah, sejak kapan anak ini berubah? Seingat Nari, Alicenya itu tidak seperti ini. Alicenya ....

"Alice bakal balik jadi Alice yang biasa kalau mama udah sehat betul," kata Alice seolah menjawab apa yang ada di pikiran Nari.

"Nah, sekarang tujuan kami yang sebelumnya mau nagih update punya Alice dan yang lain berubah," Erza tiba-tiba menimpali. "Kita mau hibur mama di sini, ya! Yang lain sebentar nyusul."

Sampai detik ini Nari tidak bisa paham sepenuhnya. Tapi kata-kata mereka membuat hatinya menghangat tanpa sadar. Padahal kalau benar itu mereka ... banyak sekali kesalahan yang telah ia buat.

Melukai, tertahan, terhenti, bahkan tak tahu akan dilanjutkan. Tapi, mereka datang dan percaya. Kalau kisah mereka akan dilanjutkan.

Ah, sekarang ia jadi ingin menulis. Menyelesaikan jalan mereka yang masih panjang. Yang mungkin dalam posisi sepertinya. Seolah terhenti dan ... tak tahu mau maju ke mana dan bagaimana.

Dan rasanya ... menyedihkan.

Bagaimanapun juga, ia ....

"Yosh, jangan mikir macem-macem dulu," kata Erza. "Ayo istirahat."

Suara yang lembut membawa kantuk. Ah, jelas kalau Erza bisa pakai sihir. Anak ini memang benar-benar. Kalau begini, bagaimana bisa selesai?

Tanpa sadar, Nari bahkan sudah larut dalam lelapnya. Sementara itu, suara bisikan lembut seolah mengiringi, terus.

Semua pasti selesai, Ma.

Bahkan meski lama sekalipun, akan selesai.

Sekarang tenang dulu, ya.

END

***

Bogor, 29 Juli 2020

Larut dalam pikiran. Akhirnya tak terselesaikan. Hanya membuat khawatir takut, lantas lama terhenti. Tapi yang namanya akhir harusnya selalu ada bukan? Lantas, kenapa tidak percaya?

Regards

Nari

Fated Rendezvous -  NPC's 30 Daily Writing Challenge 2020 [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora