The Morning Rain With You

30 5 1
                                    

"Ya, wajar aja sih ini Februari, Za," pekik Helen di dalam angkot yang ia dan Erza tumpangi untuk berangkat ke sekolah. Kebetulan hanya mereka saja penumpangnya.

"Gila beneran tempat dah," cerocos Erza sambil mengelap air di dahinya.

Bahkan saat mereka membawa payung masing-masing pun tak cukup untuk menghalau derasnya air. Percikannya masih membasahi seragam mereka.

Erza dan Helen bahkan enggan melihat rok dan celana mereka saat ini. Benar-benar basah kuyup seperti habis tercebur got.

Ah, benar-benar parah, batin Erza.

Hujan yang sudah turun dengan sejak dini hari tadi itu bukannya menunjukkan tanda akan berhenti, malah semakin deras saja. Helen sendiri yakin kalau Jakarta sudah mendapat banjir kiriman ini dan saat ia pulang nanti akan ramai di berita.

"Len, kita kesiangan beneran," ujar Erza sambil menunjukkan jarum jam tangannya—sudah jam tujuh lewat lima puluh menit. Mereka sudah telat lebih dari setengah jam. Padahal hari ini ada ulangan harian Kimia.

Ah, pake diingetin segala, batin Helen. Sejujurnya ia tahu itu, bahkan sejak tadi ia berusaha menghilangkan rasa cemasnya yang mungkin akan membuat ... ah, bahkan tanpa sadar perutnya sudah mulai terasa sakit.

"Duh, lagian lu biasa kabur tengah pelajaran giliran sekarang kesiangan ngingetin," keluh Heln, "Aaaaaah, sakit perut kan pengin BAB," rengek Helen yang semakin panik.

Padahal, yang seperti ini bukan sekali ia alami. Tahun lalu juga sempat begini, parahnya ia hanya sendirian di angkot dan saat berjalan melewati gang yang harus dilalui setelah turun malah terjatuh dengan tas-tasnya. Padahal hari itu ia bukan hanya bawa satu tas saja.

"Tas gendong merah yang dikedepanin terus sama map ungu plastik yang isinya tugas-tugas proyeksi seni, belum lagi bawa payung dan lu jatuh gara-gara kepeleset di polisi ti—"

"Jangan baca ingatan orang!" potong Helen—lagi, setengah memekik. Namun, sedetik kemudian ia terdiam dan kembali mengingat hari itu. "Rasanya mau nangis."

Sementara Erza yang melihat ekspresi castydile-nya berubah hanya bisa tersenyum kecil.

"Ya, nangis aja, sih," balas Erza. "Lagian lu dah lama kan pengin nangis di tengah hujan deres sambil teriak?"

Ngeselin sumpah, batin Helen. "Ya, tapi kalau kejadiannya ga disengaja ngenes banget tau! Udah sendiri kehujanan, kesiangan, pake kepeleset terus jatuh ke kubangan. Beneran sedih ituuuu!"

Bahkan meski ada hari ketika Helen ingin menangis di tengah hujan. Tapi tetap saja, kalau tak sengaja rasanya seolah ia menjadi orang paling sial di muka bumi.

"Tapi, sekarang udah lewat, kan?" Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari bibir Erza dan membuat Helen menoleh perlahan.

Air matanya jatuh. Bayangan di hari itu kembali lagi.

"Lah, nangis beneran?" Erza yang panik buru-buru menyeka air mata Helen dengan tangannya. Jangan harap bawa tisu atau sapu tangan, itu jelas tidak mungkin. Lagian kalau ada pun sudah ia pakai untuk mengelap rambutnya yang basah.

"Sedih sumpah ingetnya," ucap Helen setengah terisak kecil.

Ya Tuhan, batin Erza. Kini, ia hanya bisa menghela napasnya pelan. Kemudian mengusap lembut kepala gadis itu.

"Sekarang gak akan keulang lagi, kok," kata Erza pelan. "Lagian ada gue, kan?" Pancaran mata yang Erza tunjukkan entah kenapa sangat meyakinkan.

Helen hanya bisa terdiam melihatnya. Ya, lagipula ia tidak berangkat sendirian seperti hari itu. Tenang, Len, batin Helen sambil menarik napas perlahan.

Tanpa disadari, tempat mereka turun semakin dekat. Sementara hujan masih saja turun dengan derasnya. Begitu tiba, seperti dugaan Helen, jalannya banjir dan mereka harus mengorbankan sepatu mereka kalau mau sampai ke sekolah.

Hanya saja, apa yang terjadi tetap tak bisa semulus ucapan Erza. Ya, keyakinan lewat matanya tak sama dengan takdir yang terjadi hari ini.

"Deket situ," tunjuk Helen ke arah sebuah tiang listrik tak jatuh dari tempat mereka berjalan. Ia menunjukkan tempatnya jatuh dulu. Sementara Erza yang berjalan di depannya tak terlalu mendengar suara Helen, tertutup suara hujan.

"Lunya waktu itu kelewat panik, Len," kata Erza sambil menoleh ke arah Helen.

Sementara terus berjalan, Erza tak menyadari polisi tidur yang tertutup genangan air berwarna kecokelatan dan ... Erza yang panik karena terpeleset sontak menarik pergelangan tangan Helen yang tidak menggenggam payung.

Dan jelas ... kejadian itu tak bisa terhindarkan lagi.

Helen yang jelas terkejut sampai tak bisa berkata apapun lagi. Hanya saja, air matanya langsung merespon tak lama setelah tubuhnya terduduk di atas genangan air.

"Apa gue bilaaaaang?!" pekik Helen dengan suara sumbang setengah ingin menangis. Benar-benar, ia tak bisa percaya kalau ini terjadi lagi.

Sementara Erza hanya bisa menghela napas panjang.

"Ia nggak sendirian jatuhnya, tapi sama lu juga," pekik Helen, "Intinya tetep jatuh kan? Nyebelin sumpaaaah!"

Ya, kalau takdirnya seperti ini mau bagaimana?

END

***

Bogor, 16 Juli 2020

Maap yang ketipu judulnya. Ini nggak bisa jadi romens lurusL But Nari kangen kisah Erz sama Len jadi ya kubikin kejadian ini. Hope u like it too!

Regards

Nari

Fated Rendezvous -  NPC's 30 Daily Writing Challenge 2020 [END]Where stories live. Discover now