Nawang Wulan dan Takdir yang Tetap Berjalan

36 4 8
                                    

Nawang Wulan menepuk dahinya begitu mendengar kalau kunjungan—tidak, ia dan saudari-saudarinyanya cuma mau numpang mandi di bumi. Katanya ada air sungai yang bagus. Ya, aslinya Nawang Wulan ogah ikut, tapi pas diiming-imingi air yang bisa menyembuhkan kurap, siapa yang bisa nolak?

Di sisi lain, sayang beribu sayang, ramalan yang sudah sering ia hindari sejak beberapa waktu yang lalu itu malah terlihat lagi di saat-saat ini. Ramalan yang bilang kalau ia akan menikahi bajingan dari bumi—si Jaka Tarub—karena selendangnya untuk pulang ke kayangan dicuri olehnnya.

"Ah, gila aja kalau aku harus nikah sama dia. Udah mah ngintipin mandi, maling selendang, terus nikah gitu aja? Enak amat hidup jadi dia?" gerutu Nawang Wulan di hadapan peramal kerajaan. Kemudian menyesap kopi pahit yang tersedia di meja. "Halah, kudu mikir gimana lagi ini, Mang?"

Lupakan kalau Nawang Wulan dari Jawa, akhir-akhir ini cara bicaranya berubah setelah bertemu bidadari lain berdarah sunda.

"Ya, terus kau sendiri maunya gimana?" tanya peramal sambil ikut menyesap kopi yang tersedia untuknya.

"Ada saran apa gitu?" pinta Nawang Wulan.

"Hm." Peramal itu tampak berpikir keras sambil menyipitkan matanya beberapa saat. Sampai ekspresinya berubah kemudian. "Kamu tau Nyai Anteh?"

Nawang Wulan yang kini menyipitkan matanya. "Lupa-lupa inget, dayangnya Puri Endahwarni yang lama bukan, sih? Yang habis ribut sama Putri malah kebawa ke bulan terus gak balik-balik itu?"

"Pinter!" celetuk peramal itu sambil memberikan dua jempol ke arah Nawang Wulan.

"Terus hubungannya sama ramalan itu apaan?" tanya Nawang Wulan sambil menatap kesal peramal. Entah kenapa pujiannya tadi seolah menyindir dirinya yang tahu saja berita dari bumi alias doyan ngegosip.

"Oh iya, hehe," kekeh peramal itu sementara Nawang Wulan kembali menyesap kopinya sambil memutar kedua bola matanya.

"Cepetan, ih!" desak Nawang Wulan.

"O-oh i-iya. Itu si Anteh kan jago rajut sama jahit-jahitan. Kenapa ga minta bikinin selendang baru aja buat cadangan kamu bawa ke bumi?" saran peramal yang kemudian membuat Nawang Wulan mengangguk pelan seraya mempertimbangkan resikonya.

Memang, kahyangan ini gak jauh-jauh amat dari bulan. Tapi magernya, Gusti, batin Nawang Wulan. Selain itu ...

"Kalau bikin mah gak akan sempet lah," celetuk Nawang Wulan mengingat ia dan saudari-saudarinya akan berangkat esok siang.

"Lagian bidadari selendangnya cuma satu," celetuk peramal diam-diam, tentunya didengar oleh Nawang Wulan.

"Enak amat ngomong," balas Nawang Wulan, "Punya dua kok, tapi yang satu ..." Nawang Wulan menggantungkan kalimatnya kemudian bangun dari tempat duduknya, berlari kearah kamarnya. Tak lama, kembali dengan wajah ketus sambil membawa sebuah selendang rusak.

"Kok bisa rusak?" tanya peramal heran. Serius, ini bidadari yang paling aneh di kahyangan.

"Ga usah tau, deh," balas Nawang Wulan ketus sambil teringat kejadian saat selendangnya tersangkut di sebuah pohon.

"Ya udah, benerin ke si Anteh sana. Biar keburu," titah peramal itu yang pada akhirnya diiringi anggukan pasrah Nawang Wulan. Sementara peramal itu hanya bisa menghela napas, kemudian berkata, "Kopinya abisin dulu."

Sontak Nawang Wulan mendelik, "Rumah siapa, ya?"

***

Hari masih sore di kahyangan ketika peramal itu kembali ke rumahnya. Sementara Nawang Wulan langsung bersiap-siap pergi ke bulan. Setelah meminta izin dari ayah dan ibunya, Nawang Wulan pun berangkat.

Fated Rendezvous -  NPC's 30 Daily Writing Challenge 2020 [END]Where stories live. Discover now